Suami: Kenapa malem ini gelap banget ya
Istri: Mendung kali bang
Suami: Kayaknya nggak dech
Istri: Trus napa bang?
Suami: Soalnya bulannya sedang menerangi & menemaniku disini
(backsound: Ngeeeks.)
Suami: Kemarin aku liat ada 1000 bintang di langit
Istri: Ah yang bener??
Suami: Iya bener, tapi sekarang tinggal 998 bintang…
Istri: Lho…kow bisa ilang dua?
Suami: iya 2 bintang yang ilang itu ternyata ada di dalam mata kamu
(sambil liat matanya dalam2)
~Yaa Salaaam... lunglai langsung tu tungkai istri. Lemes 'klepek-klepek'
Suami: Ummi tahu apa definisi dari indah ??
Istri: Mm..yg jelas indah itu cantik…
Suami: well bener sih, tp menurut Abi …
indah itu adalah saat dimana kita ngga merasakan sedikit pun keburukan di
dalamnya ..
Umi pernah ngerasain yang begitu ???
Istri: mungkin kalee ya
Suami: Kalo Abi sering banget…dan itu adalah saat…..diriku bersama dengan dirimu
Istri: *Aaaaa...
Istri: Bang mau pergi kemana?
Suami: Punya istri satu aja bahagia begini, bagaimana kalau dua yaaa?
Istri: Apppaaaaa? (*lempar tabung gas 12 kg)
Di sana gunung di sini gunung, begitulah kisah ini bermula.
Sering canda-canda dan gurauan antara suami-suami seusia kini adalah soal POLIGAMI. Suatu bahasan yang tidak pernah mati, selalu menimbulkan pro dan kontra.
Siapa laki-laki yang tidak memiliki kecenderungan ke arah sana? Atau kalaupun tidak kecenderungan, katakan saja sebagai "potensi" atau "ancaman" ke arah sana?
Betapa pun lelaki itu setipe dengan Kla Project yang "tak bisa pindah ke lain hati" toh secara naluriah lelaki itu sebenarnya mampu membagi cinta-nya.
Masalahnya tinggal "mau atau tidak". Lalu kemudian berubah menjadi "bisa atau tidak."
Sementara itu, di sisi perempuan; siapakah perempuan yang bisa dengan rela serta merta menikmati posisinya "di-dua-kan", "di-tiga-kan" atau bahkan "di-empat-kan"? Sepaham apa pun tentang syariat dibolehkannya poligami dalam Islam ini, seorang perempuan sekelas ustadzah pun akan berat dan tak mudah menjalaninya. Sungguh saya tidak bohong.
Begitu pun pengalaman seorang aktivis dakwah yang saya kenal. Pada saat ia mengizinkan suaminya menikah lagi dengan seseorang perempuan yang berusia hampir lebih muda separuh usianya kini atas dasar faktor keinginan untuk memperoleh keturunan, nyatanya meski ia sendiri yang membukakan jalan perjodohan, ia pula yang begitu tegar mengantarkan sang suami dalam proses ta'aruf-nya, pada akhirnya pun tak kuat pula didera rasa "sakit" dan keterhempasan. Luka yang tak ia kehendaki tetap saja muncul.
Begitulah rasa cinta memang mengajarkan kita tentang sebuah "pengorbanan". Itulah cinta yang membangun bukan menghancurkan. Maka ketika sang suami harus berbagi cinta, bukan berarti ia hendak menghancurkan dan men"jatuh"kan cintanya pada sang istri pertama, namun inilah cara ia memahami makna dan ekspresi mencintai karena Allah SWT.
Bukankah mencintai itu seperti ekspresi iman kita? Ia akan melampau rasa suka dan tidak suka.
Sebagai seorang muslim kita diminta untuk mencintai jihad di jalan Allah, namun siapa yang suka ketika jihad itu mengharuskan kita melakukan pengorbanan harta, jiwa dan raga? Hampir semua tentu berat melakukannya bukan? namun bagi mereka yang luapan cintanya merupakan ekspresi keimanan yang lurus maka jihad itu kemudian menjadi indah. Meski tidak ia sukai.
Pun bagi sang suami, mudahkan berlaku adil?
Sedangkan baginda Nabi yang kualitas akhlaq-nya begitu sempurna saja masih saja lebih besar kecenderungannya pada Ibunda Aisyah ketimbang istri-istrinya yang lain, walaupun cintanya pada Khadijah tak pernah tergantikan.
Demikian memang, adil membagi cinta itu memang sulit. Adil yang menjadi persyaratan adalah adil dalam segi materi dan waktu. Begitulah syariat mengajarkan.
Soal hati? ah... lagi-lagi itu rahasia Allah.
Sebagaimana syariat POLIGAMI itu sendiri. Ia seakan-akan hadir sebagai sebuah rahasia. Tentang cara Allah mengajarkan manusia dalam memahami cinta sejati. Bahwa cinta tidak selalu tentang rasa memiliki, atau menguasai.
Jika bertemu dan mencintai karena Allah, maka tentu kita harus bersiap untuk berpisah atau berbagi karena Allah SWT.
Begitulah katanya...
Poligami itu mirip seperti hukum sentripetal dan setrifugal. Keduanya merupakan gaya antitesis yang saling berlawanan untuk menjaga konsistensi gerak melingkar sebuah benda sehingga ia tetap beredar pada orbitalnya.
Begitulah poligami selalu ada pro dan kontra. Agar kita semua, baik suami maupun istri mampu menjaga konsistensi posisi cinta kita tetap melingkar pada orbital sejatinya.
POLIGAMI bagi Laki-laki
Bagi suami, poligami mengajarkan bahwa cinta itu berarti tanggung jawab, amanah, kepemimpinan, dan keadilan. Tanggung jawab dunia dan akhirat.
Kepemimpinan yang kelak dimintai pertanggungjawabannya. Sebuah cermin untuk mengukur bahwa kita-kaum laki-laki ini, apakah seperti matahari atau lilin kecil nan redup yang mudah ditiup angin malam. Bagaimana hendak memanaskan tungku jika diri sendiri kecil nan mudah padam?
Jangan sampai poligami karena hendak menyelamatkan janda namun justru menghasilkan janda baru.
Sebagaimana seorang guru saya, Ust. Cahyadi Takariawan; yang lebih menganjurkan untuk bahagia dengan satu istri saja. Meski poligami pun berarti membuka pintu ladang amal baru. Ladang amal membangun kesabaran seluas samudera Hindia-Pasifik yang isinya juga penuh dengan hiu-hiu yang bergigi tajam.. hehe...
POLIGAMI bagi perempuan
Sementara itu, poligami bagi istri adalah sarana untuk kembali memahami bahwa cinta itu bukan harus memiliki, menguasai, memonopoli dan atau ke-posesif-an yang membabi buta.
Bahwa cinta itu kadang memang melampaui rasa suka dan tidak suka. Karena cinta memang harus tumbuh dan tumbuh selalu menuju kepada kebaikan. Apakah poligami itu akan menjadi pintu kebaikan bagi suami-nya dan seluruh keluarga atau tidak?
Jangan katakan cinta atas nama egoisme dan keakuan. Sungguh mari kita berhati-hati tentang ini.
Inilah kisah tentang bagaimana memaknai cinta sebagai pengorbanan untuk memperoleh kebahagiaan yang lebih hakiki. Bukankah di dunia ini kita hanya sementara?
Jadi, apapun langkah dan pilihan yang diambil, maka semuanya perlu kita muarakan pada satu pertanyaan besar: apakah keputusan itu akan membawa kita kepada tujuan pernikahan: SAKINAH, MAWADAH dan RAHMAH? Pada keberkahan (kebaikan yang terus bertambah) atau justru sebaliknya menuju keimanan yang terjun bebas??
Apakah pilihan itu kemudian bisa menjadikan pernikahan itu sebagai pintu menuju surga di dunia dan juga tentu di Akhirat?
Atau....
-wallahu'alam-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H