Lihat ke Halaman Asli

Galau Gadget, Gila Gadget: Fenomena Antara Kebutuhan dan life style?

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada hal menarik yang perlu kita sadari bersama ditengah kondisi ekonomi dan politik negeri, hasil dari studi yang dilakukan AC Nielsen dalam Asia Pasific Consumer Confidence Study Survey menunjukkan tingkat optimis konsumen Indonesia dalam menghadapi pertumbuhan dan kondisi ekonomi bangsanya masih jauh dibanding negara-negara besar Asia lainnya. Bahkan dibandingkan dengan negara jiran: Malaysia. Angkanya masih berada di tingkat 40%. Tetapi ada yang menarik ternyata kita ini termasuk yang “boros” dalam belanja kebutuhan teknologi baru. Koq, bisa ya? Menurut laporan tersebut, yang saya ambil dari http://www.research.marketing.co.id bahwa Peningkatan kepercayaan konsumen ini berdampak positif pada keinginan untuk melakukan pembelian. Hampir 90% konsumen di Asia berkeinginan melakukan belanja. Persentase terbesar uang mereka dibelanjakan terutama untuk barang-barang berteknologi seperti komputer, telepon seluler, digital camera dan televisi. Keinginan untuk membeli barang-barang teknologi ini ternyata paling besar dimiliki oleh konsumen Indonesia, di mana 62% dari pembelanjaan orang Indonesia adalah untuk barang-barang berteknologi baru. Pernah mendengar berita, orang meninggal karena rela turut berdesak-desakan mengantri untuk bisa mendapatkan smartphone dengan harga diskon? Apakah ini indikasi bahwa bangsa kita benar-benar telah “melek” dengan produk-produk berteknologi tinggi tersebut? Sehingga kebutuhan dan hasrat memiliki piranti/gadget mutakhir seperti sebuah ekstasi? candu? dan bikin ketagihan? Atau jangan-jangan kita ini memang hanya sekedar latah dan gagap pada hal-hal yang dianggap high-tech? Bagian dari atribut dan embel-embel gaya hidup? gengsi? prestige? Saya mungkin termasuk yang terwakili dari judul di atas. Sebagai seorang yang bekerja di ranah berbau teknologi biru high tech, apalagi berkecimpung langsung menjadi salah satu dan bagian kecil dari man behind the gun penyedia jaringan selular yang mendorong konsumen untuk bisa mengkonsumsi komunikasi data maka atas nama user experiences –lah akhirnya menjadi dalil dasar bagaimana kami (baca: saya) ini “dipaksa”dan “terpaksa”menjadi bagian dari rush era pemburu gadget teranyar. #tepokjidat. Hampir sama dengan quote di bawah ini: Handset sales are driven not by hardware features (“what the handset can do”) but the user interface and applications available (“what you can do with the handset”). Secara serampangan mungkin saya bisa adaptasi ungkapan di atas dengan sederhana bahwa keputusan kita membeli gadget bukan sekedar atas kecanggihan gadget tapi sejauh mana kebutuhan, kepentingan dan kemanfaatan gadget itu untuk mendukung kualitas hidup kita. Sama seperti buat apa kita mahal-mahal membeli mobil super cepat kalau jalan raya di kota kita tidak mulus, penuh lubang dan macet di sana-sini? Tulisan ini mungkin hampir senada dengan tulisan saya sebelumnya: "Gadget untuk Hidup, Bukan Hidup untuk Gadget!” beberapa waktu yang lalu di blog pribadi. Akhirnya rencana untuk tidak ikut-ikutan membeli tablet ternyata tak kuasa ditahan juga. Akhir tahun, akhirnya harus ditutup dengan menuntaskan keperluan membeli sebuah gadget tablet untuk kebutuhan browsing di segala tempat dan suasana untuk mendukung aktivitas harian “super mom” bagi ibu-nya anak-anak, dan sekaligus trial kemampuan mengoptimasi perangkat ini sebagai pendukung aktivitas social media dan on line shop.  Entah ini bagian dari mendalil-kan amal atau memang benar-benar memiliki justifikasi kuat? Hehe. Entahlah. Secara arif saya ingin menginsapi untuk bisa membedakan antara memiliki gadget sebagai tujuan, sebagai akibat atau sebagai sarana. Apa bedanya? Jelas beda. Bagaimana menurut anda? Nyatanya kita memang hidup di era dimana teknologi blue chip telah masuk ke ranah yang paling intim dalam hidup. Bahkan sendau gurau dan urusan rayu-merayu istri seringkali melalui BBM meski suami-istri hanya terpisahkan tembok tipis, yang satu di ruang tamu sedangkan yang satu sedang di ruang tidur menina-bobokan anak-anak (aeeh, pengalaman pribadi, Gan!). Atau urusan jual-beli saja kini orang tak perlu harus berlelah ria keluar masuk pasar. Cukup browsing, kemudian terjadilah transaksi. Hari ini bayar, besok barang sampai ke rumah.  Lain lagi soal tugas-tugas sekolah anak, ternyata kini makin membuat mereka harus lebih akrab dengan mesin pencari (search engine). Maka dalam milis kantor internal kami,ketika bicara soal broadband era, saya setuju kalau kita tidak hanya bicara soal teknologi selular yang mampu menyediakan jaringan pita lebar dengan kecepatan yang memadai, tapi kita juga bicara soal pirantinya, sekaligus landscape user interface-nya, sehingga media piranti dan contain-nya (termasuk social media, aplikasi, program, dsb. ) bisa seiring sejalan mendukung kualitas hidup kita. Jangan sampai kita justru mendorong masyarakat menjadi kian konsumtif sedangkan seluruh aliran cash flow kita lari ke negara-negara produsen handset/smartphone tanpa mengubah mindset kita terhadap penggunaan piranti berteknologi secara bijak penuh kemanfaatan. Bagaimana menurut anda?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline