Lihat ke Halaman Asli

Sudah “Berbagi Hasil” - kah Bank Syariah ?

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika orang awam mendengar kata bank syariah, kebanyakan yang terlintas langsung adalah bank tanpa bunga atau bank dengan sistem bagi hasil, meskipun sebenarnya mayoritas mereka juga belum paham benar apa sih bedanya (bunga dan bagi hasil).

Melihat sejarahnya sendiri, perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel Islam. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership.

Namun demikian dalam perkembangannya bank syariah memiliki berbagai macam produk/akad penyaluran dana selain mudharabah, seperti murabahah, salam, istishna, ijarah, qardh dan lainnya.

Meskipun bank syariah memiliki banyak macam produk/akad, pertama kali dugaan yang muncul adalah bahwa “seharusnya” produk pembiayan mudharabah – lah yang paling dominan dalam portofolio – nya. Ternyata tidak !!!

Mari kita cermati data komposisi pembiayaan bank syariah secara nasional pada tabel (sumber : Bank Indonesia).

Dari data terlihat bahwa produk pembiayaan perbankan syariah masih didominasi oleh Murabahah, meskipun dalam 3 tahun terakhir dominasinya menurun. Pada tahun 2010 (data s.d Mei 2010) pembiyaan murabahah menguasai lebih dari setengah total pembiayaan yaitu + 56%, sementara Mudharabah “hanya” mengambil porsi + 12% disamping produk – produk pembiayaan lain.

Kali ini saya hanya akan melakukan pembahasan Mudharabah, dan sedikit tentang Murabahah.

Murabahah

Murabahah adalah satu jenis pembelian (bai´) yang dilakukan oleh bank di mana bank membeli dan kemudiannya menjual kepada nasabah dengan penambahan sejumlah keuntungan (mark up) yang disetujui oleh nasabah yang kemudiannya dilunaskan secara bertahap.
Dengan skema ini, bank bukan sedang berbagi hasil melainan hanya mengambil suatu “imbalan” yang disebut dengan marjin keuntungan. Dari data di atas tadi boleh dikatakan bahwa bank syari‘ah masih sangat tergantung kepada produk Murabahah dalam memperoleh keuntungan. (Pembahasan lebih jauh tentang Murabahah akan coba saya tulis pada kesempatan lain).

Mengapa bank syariah sepetinya “masih enggan” melakukan pembiayaan Mudharabah ?

Profit Sharing

Mudharabah erat kaintannya dengan yang namanya bagi hasil / profit sharing (meskipun kemudian dalam operational bank syariah dikenal juga revenue sharing). Secara sederhana konsep profit sharing berarti bahwa pihak pemilik dana/shahibul mal (bank) dan mudharib (pengusaha) sepakat untuk membagi keuntungan yang didapatkan oleh mudharib (pengusaha) dengan nisbah bagi hasil yang sudah disepakati. Misalkan bank X sepakat untuk memberikan pembiayaan kepada pengusaha A dengan nisbah bagi hasil 40 : 60 (40% untuk bank dan 60% untuk pengusaha), maka ketika kemudian (pada bulan I setelah pembiayaan) pengusaha mendapatkan keuntungan Rp. 1 juta, maka bagian bank adalah Rp. 400 ribu dan pengusaha Rp. 600 ribu. Jika pada bulan II keuntungan pengusaha Rp.800 ribu, bagian bank turun menjadi Rp. 320 ribu begitu pula pengusaha turun menjadi Rp. 480 ribu.

Akad/Kontrak seperti ini memberikan keadilan bagi kedua belah pihak karena ketika usaha sedang mengalami keuntungan besar maka kedua pihak akan ikut menikmati naiknya keuntungan dan sebaliknya (berbeda dengan system bunga, yang “tidak mau tahu” apakah usaha sedang untung besar atau kecil bahkan merugi – tetap harus memberikan angsuran sesuai besarnya bunga).

Namun demikian dari berbagai pembahasan, muncul beberapa permasalahan yang menjadikan (profit) sharing tidak bisa optimal. Masalah yang menyebabkan tidak bisa optimalnya sharing antara lain adalah level informasi yang berbeda yang dialami oleh kedua belah pihak yang terlibat dalam kontrak (asymmetric information)

Asymmetric information

Dalam kontrak sharing sangat diperlukan terciptanya symmetric information dimana baik pihak shahibul mal (bank) maupun pihak mudharib (pengusaha) memiliki level informasi yang sama, dalam hal ini terutama informasi yang akurat mengenai kondisi usaha yang dibiayai, khususnya akurasi keuntungan usaha yang nantinya akan dibagihasilkan. Di sini harus dipenuhi unsur / aspek transparansi dan kejujuran – pengusaha (mudharib) secara jujur dan transparan “melaporkan” keuntungan yang diperoleh setiap bulan. Kondisi ini merupakan kondisi yang sangat ideal bagi penerapan sistem (profit) sharing.

Dalam praktiknya sangat kecil kemungkinan didapatkan kondisi ideal, dimana symmetric information diperoleh. Dalam usaha, mudharib seringkali mempunyai informasi yang lebih banyak (tentang kondisi usaha) daripada shahibul mal. Shahibul mal, meskipun memiliki data dan informasi, biasaya tidak seakurat informasi yang diperoleh oleh mudharib sebagai pelaku usaha. Misalnya pembiayaan usaha pengalengan ikan, mudharib akan memiliki informasi tentang potensi laba usaha tersebut dibandingkan pihak shahibul mal, yang mungkin hanya mengetahui “kulit”nya saja atau bahkan awam terhadap usaha pengalengan ikan – sehingga kejujuran pihak pengusaha sangat diperlukan demi terciptanya aspek keadilan pada kesepakatan yang telah dilakukan.

Mudharabah

Mudharabah adalah produk pembiayaan bank syariah yang menggunakan sistem sharing. Secara teknis, Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak, di mana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan modal (bank), sedangkan pihak lainnya (mudharib) menjadi pengelola (pengusaha). Sebenarnya mudharabah sendiri dibagi menjadi dua yaitu Mudharabah Muthlaqah dan Mudharabah Muqqayadah.

Mudharabah Muthlaqah adalah jenis mudharabah yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, sedangka Mudaharabah Muqayyadah adalah mudharabah yang diikat/dibatasi oleh kondisi tertentu usaha yang dibiayai. Dengan mudharabah, kelangsungan usaha nasabah (pengusaha) akan lebih terjamin karena apabila suatu waktu usaha sedang mengalami tren negatif (keuntungan menurun) maka bagi hasil yang harus diberikan kepada bank juga disesuaikan (tidak memberatkan nasabah). Di sisi lain bank akan lebih selektif dalam menentukan usaha yang akan dibiayai, bukan hanya harus sesuai syariah namun juga mempunyai prospek yang baik.

Walaupun mudharabah dikatakan sebagai sesuatu yang ideal untuk perbankan syariah dan merupakan cirri khas serta keunggulan bank syariah, namun ternyata mudharabah dalam kenyataannya belum menjadi skema pembiayaan yang utama pada bank syariah.

Salah satu penyebab dari “keengganan” bank menerapkan mudharabah adalah faktor risikonya yang tinggi dan alasan kehati-hatian. Risiko dalam mudharabah – sebagai salah satu perwujudan sistem sharing, diakibatkan oleh dua hal yaitu risiko ketidakpastian usaha (dihadapi oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu usaha – baik pelaku maupun pemodal, baik sistem syariah maupun konvensional) dan risiko moral hazard pelaku usaha (mudharib). Saya tidak ingin mengatakan hal ini, tapi rasanya sangat sulit untuk menemukan seorang (mudharib) yang melaporkan hasil usahanya untuk dibagi (hasil) dengan pihak lain, secara jujur, transparan dan konsisten !!

Permasalahan utama mudharabah adalah permasalahan utama yang terjadi pada kontrak sharing, yaitu tidak tersedianya informasi yang berimbang antara shahibul mal dan mudharib (asymmetric information).

Lalu bagaimana untuk bisa menghilangkan – paling tidak mengurangi potensi risiko - permasalahan tersebut diatas sehingga pembiayaan mudharabah dapat lebih dioptimalkan ? Pemilihan dan pembenahan moral hazard dari semua pihak tentunya menjadi solusi yang paling mujarab, namun kita semua pasti juga sepakat bahwa hal ini merupakan suatu solusi yang agak “tidak membumi”. Solusi lain – meskipun tdak se-mujarab solusi pertama – adalah pembuatan buku standardisasi berbagai macam jenis usaha dengan berbagai ukuran skala usaha, mencakup antara lain modal usaha, jangka waktu usaha, biaya operasional dan yang utama kisaran laba/keuntungan yang didapat, sehingga pihak shahibul mal bisa mengeliminir dampak dari asymmetric information oleh karenanya mengurangi risiko dan pada akhirnya bank syariah dapat berbagi hasil secara lebih optimal !! Amien…

-Rifki Muhamad

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline