Lihat ke Halaman Asli

Rifki Feriandi

TERVERIFIKASI

Open minded, easy going,

Rindu Ramadan, antara Cowok Ganteng dan Sahur Cuankie di Pusdai

Diperbarui: 12 Juni 2018   14:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana Sahur di Mesjid Pusdai - bakso cuankie di latar depan | Foto: Rifki Feriandi

Anak kecil saya, Nailah - dipanggil Ade, suka sekali cuankie. Tenang, meski namanya berbau Chinese, tapi halal kok. Makanan ini cuman bakso kuah yang segar - meski ada MSG nya sih. Tapi, ini tidak bercerita tentang kenapa si Ade suka Cuankie. Tinggalkanlah Si Ade sejenak. Fokus lah ke si Ayah. Iya, ternyata si Ayah juga suka sekali baso Cuankie. Dan ternyata Cuankie itu akan dia rindukan  di Ramadan di tahun-tahun depan.

Ciyus? Kok yang dirindukan adalah Cuankie?

Cuankie berarti Bandung, ya kan? Baso Cuankie asli itu dari Bandung. Karenanya, si Ayah itu akan rindu Bandung. Meski Cuankie bisa didapat kapan saja, yang si Ayah rindukan adalah saat sahur. Itu berarti si Ayah akan rindu Bandung saat bulan puasa. Tapi, yang jualan Cuankie bulan puasa kan cuman malam doang. Kok sahur? Belum tahu ya, ternyata di Mesjid Pusdai, kita bisa menemukan Bakso Cuankie dijual saat sahur. Tidak hanya satu penjual, malah ada dua atau tiga penjual. Dan tidak hanya Bakso Cuankie, tetapi malah sahur si Ayah awali dengan makan kerak telor ditutup dengan jeruk peras.

Jadi, yang dirindukan si Ayah adalah makan bakso cuankie di mesjid Pusdai saat sahur?

BUKAN!!! Yang dia akan rindukan di bulan Ramadan tahun-tahun depan adalah....itikaf di sepuluh terakhir di Pusdai. Saat si Ayah sahur Cuankie.

Ya. Pengalaman itikaf di malam 27 tadi malam itu begitu mengesankan dan akan dirindukan si Ayah. Itikaf itu dalam rangka si Ayah memperkuat iman. Iman itu harus dijemput, dicari dan diusahakan. Dan itikaf adalah salah satu caranya.

Kenapa dirindukan?

Mesjid penuh

Semua terasa ringan jika dilakukan secara bersamaan, bukan. Dan untuk menjaga agar istiqamah, termasuk dalam beritikaf, maka dilakukan bersamaan akan menambah semangat. Bayangkan, jika kita itikaf sendirian di sebuah mesjid yang kosong. Perasaan sendirian cenderung akan mendorong kita untuk mundur dan selesai lebih cepat.

Masih sepi segini teh. Qiyamullailnya penuh tuh | Foto: Rifki Feriandi

Di Mesjid Pusdai, Bandung ini, itikaf di malam ganjl penuh dengan jamaah. Ketika datang pukul sembilan malam, setelah paginya kecapekan mudik, hampir saja si Ayah tidak dapat tempat parkir. Beruntung ada dua tempat kosong, persis di depan pintu keluar. Padahal, tempat parkirnya luas. Dan lalu ketika masuk ke dalam mesjid, gairah itikaf si Ayah membara. Masjid penuh dengan jamaah. Tua-muda bahkan ada yang membawa keluarga. Semuanya dengan tujuan sama, beritikaf dan melakukan ibadah. Wajah-wajah tulus beritikaf terpancar secara jelas. Rasanya tidak ada yang memperlihatkan wajah terpaksaan. Hal ini terus terang begitu nyata menambah semangat si Ayah, dan terus terang menggetarkan jiwa. Sebegitu semangatnya mereka, yang mungkin sudah berada di mesjid sejak malam 20, sementara si Ayah baru datang jam sembilan di malam 27.

Beristirahat sejenak sebelum shalat Syuruq | Foto: Rifki Feriandi

Anak-anak muda berwajah cerah dan ganteng
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline