Lihat ke Halaman Asli

Rifki Feriandi

TERVERIFIKASI

Open minded, easy going,

Kenangan Masa Kecil dari Aktivitas Sederhana tapi Seru

Diperbarui: 3 Juni 2018   18:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisa jadi permainan sederhana dan seru seperti ini yang menjadi kenangan masa kecil si Ade | Foto: Rifki Feriandi

Demi kenangan masa kecil, "Jangan menunggu momen yang sempurna. Ambil momennya, dan buatlah momen itu sempurna".

Ceritanya Si Ayah sedang memperbaiki diri dari kesalahan masa lalu. Iya, Si Ayah merasa berdosa karena dahulu tidak begitu dekat dengan si Kakak pada usia Si Kakak segede Ade, kanak-kanak. Sebabnya adalah pekerjaan yang menuntut si Ayah sering keluar kota. Jadinya, kenangan dengan si Kakak waktu kecil sangat sedikit. 

Yah, palingan berkisar di momen yang "perfect" yang memang susah dilupakan: jatuh ketika berlari di Mall lalu kepala kejedot pagar dengan kencang sampai muncul telor bebek di jidatnya, jatuh masuk got dengan badan sangat kotor padahal dia baru selesai mandi sore, jari kejepit rantai sepeda atau kaki ketusuk paku. 

Semuanya terjadi ketika Si Kakak bermain bersama si Ayah. Perfect :) . Iya, itu terjemahan dari kata yang selalu si Ibu katakan. "Baguuuuuuus", sambil sudah tidak bisa marah lagi. Eh tapi, masih mending kan ada kenangan, dibandingkan kenangan pulang dari luar kota terus dipanggil "Om" oleh anak yang jarang ketemu. Menyedihkan.

Tapi sebenarnya itu adalah kenangan yang manis buat saya dan si Kakak. Kenangan dari momen-momen biasa kan? Bedanya hanya di "outcome"nya saja. Kenangan manis buat si Ayah, kenangan pahit tapi manis buat si Kakak. Dan momen-momen seperti itu, dengan hasil kenangan positif, ternyata bisa didapat dari hal-hal yang sangat biasa. Salah-satunya karena ini: perintah. Seperti kenangan si Ayah ini.

Si AYah digendong Enin Mamam tahun 1970 | Foto: Rifki Feriandi

Sewaktu kecil, sekitar usia SD kelas 3-an, di akhir-akhir Ramadan, si Ayah mendapatkan "instruksi". Dari siapa lagi selain dari Aki Papap dan Enin Mamam, orangtua Si Ayah, kakek-neneknya si Ade. Perintah itu jelas, tidak bisa ditawar lagi: "Bersihkan rumah".

"Ah, ringan banget", mungkin ada yang berkata demikian.

Eit, jangan salah. Perintah itu diikuti juklaknya (petunjuk pelaksana). Semua anak terlibat. Aboy mengecat pagar - masih memakai air kapur dengan warna hanya putih. Ahendi menyikat kamar mandi. Keduanya adalah kakak si Ayah. Si Ayah, sebagai anak terkecil, kebagian membersihkan kaca rumah.

Sepintas itu cetek, gampang. Membersihkan kaca jendela. Tapi, kaca jendela di rumah itu kan lumayan banyak. Lagipula, saat itu belum ada cairan pembersih kaca yang membuat kaca secepat kilat jadi kinclong. Saati itu juga belum ada serbet yang ajaib dan lembut. Jadi, apa yang si Ayah lakukan? Tentunya dengan juknis (petunjuk teknis) dari orang tua, diambillah koran bekas. Buat menjadi dua bagian. Satu bagian dilembabkan dan satu lagi kering. Bersihkan kaca dengan koran yang dilembabkan dulu, baru lalu dikeringkan dengan melapnya dengan koran kering. Gampang kan?

Iya gampang. Hanya saja cara melembabkan korannya itu si Ayah lakukan dengan....uap dari mulut. Nah, ini mah tidak ada dalam juknisnya. Itu hanya kreatifitas kita-kita saja. Soalnya kalau memakai air, si korannya cepat rusak. Sementara uap dari mulut cukup membuat kaca lembab dan berembun sementara korannya awet. Bisa dibayangkan bukan jika lagi puasa, mulut ditiup sampai ada embun di kaca, dengan suara "Haaaah" berulang-ulang kan. Beruntung bau dari mulut sendiri dicium hidung sendiri itu seperti harum bunga kasturi. Eaaa....

Itulah. Sesuatu kejadian sangat sederhana seperti itu masih terus menempel di kepala, bahkan hingga lebih dari 30 tahun kemudian. Kenangan. Masa kecil. Dari hal sederhana. Tapi dibuat seru.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline