Lihat ke Halaman Asli

Rifki Feriandi

TERVERIFIKASI

Open minded, easy going,

Tidak Ada Polemik Warung Buka di Bulan Puasa dari Cara Pandang Anak Kecil

Diperbarui: 25 Mei 2018   16:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Pemberitahuan Warung | Foto: http://kippermais2016.blogspot.co.id/

"Loooh, kok tukang ketopraknya jualan Yah?".

Masih nempel di benak, ketika pertanyaan itu muncul dari anak kecil berpipi temben. Nailah, anak itu yang biasa dipanggil Ade, nyeletuk begitu saja. Saat itu dia baru berusia enam tahun kalau tidak salah. Sekolah di Taman Kanak-kanak. Sedang memulai membiasakan berpuasa sampai Maghrib. 

Sebuah pertanyaan yang khas anak kecil. Jujur. Bertanya sesuatu yang menurut dia kontradiktif. "Disuruh berpuasa, lha ini kok ada yang jualan makanan. Katanya puasa?". Begitu mungkin pikirnya.

Celetukan si Ade itu bisa dipahami oleh si Ayah. Dan si Ayah bahagia karena dia mau bertanya. Tentu saja dia kebingungan. Karena hakekat berpuasa yang dia pahami masih berkutat dengan "tidak makan dan tidak minum di siang hari". Itu saja. Sederhana. Dia belum memahami konsep berpuasa lebih jauh.

Memang sih di sekolah dia diberi tahu tentang sabar. Tetapi konsep penerapan dalam berpuasa mungkin belum sampai. Belum lagi konsep tentang "menahan diri". Dan di sinilah peran si Ayah, dan si Ibu tentunya, untuk memberikan penjelasan sesederhana yang bisa ditangkap anak kecil.

"Dia kan berjualan bukan buat buat orang yang berpuasa De. Kan orang-orang itu ada yang tidak bisa berpuasa. Anak kecil yang lebih kecil dari Ade contohnya. Atau nenek-nenek, kakek-kakek yang sudah tidak kuat berpuasa. Atau yang lagi sakit. Mungkin di rumahnya mereka tidak masak, jadi mereka akan tertolong dengan adanya tukang bubur itu", gitu kira-kira jawaban Si Ayah saat itu.

"Tapi Ade jadi lapar Yah", kata dia setelah cukup lama. Calon-calon tangis sudah muncul dari suaranya. SI Ayah berusaha menenangkannya. Rengekannya tidak dijawab. Cukup diberi senyum saja. Atau pelukan kecil. Serta sedikit penambah semangat. "Kamu hebat De".

Dua tahun kemudian, beberapa hari lalu.

"Yah, itu kenapa warungnya ditutup pakai gorden?" tanya Ade. Siang itu kita jalan melintas di depan rumah makan yang gordennya diturunkan.

Si Ayah tidak langsung menjawab. Dia malah balik bertanya. "Menurut Ade kenapa?".

"Karena ini bulan puasa", jawab dia. Gitu. Tanpa ada rengekan. Tidak ada "gugatan". Tidak ada desakan agar rumah makan itu tidak jualan. Juga tidak ada komplain agar dia bisa berbuka. Sebaliknya, dia tenang-tenang saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline