Lihat ke Halaman Asli

Rifki Feriandi

TERVERIFIKASI

Open minded, easy going,

Inilah Penampakan Stasiun Kebayoran Lama, Kini

Diperbarui: 31 Agustus 2016   15:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagian dalam Stasiun | Foto: RIfki Feriandi

View dari dalam stasiun | Foto: Rifki Feriandi

Entrance ke Stasiun Kebayoran | Foto: Rifki Feriandi

Stasiun Kebayoran | Foto: RIfki Feriandi

Sekitar sepuluh tahun lalu, saya menjadi bagian dari Anker - Anak Kereta - yang setia menjalani rel antara Stasiun Sudimara dan Stasiun Sudirman. Saat itu keretanya masih ada dua jenis, KRD (Kereta Rel Diesel) dan KRL (Kereta Rel Listrik). Juga ada kereta odong-odong, langsam, yang di dalamnya palu gada - apa yang lu mau segala ada. Tiap stasiunnya pun sangat hidup berwarna-warni, di mana orang - baik itu penumpang atau yang jualan, pengamen, penyemir sepatu ataupun pencopet, pegawai, pengangguran, karyawan atau yang hanya pengen berkencan dengan PIL atau WIL. Jajanan pun melimpah ruah dengan harga murah. 

Saat itu jalur Serpong ke Tanah Abang masih satu rel. Jadi, jarak yang tidak seberapa dari Sudimara ke Tanah Abang itu habis oleh satu kata yang menyebalkan. BERSILANG. Ya, kereta kita terhambat karena menunggu kereta dari arah berlawanan tiba. Hal itu diperparah oleh kereta cepat yang selalu meminta tempat sebagai kelas elitan dikit. Bablas, Pandeglang Tanah Abang tidak berhenti (katanya).  Nah, di sinilah Stasiun Kebayoran Lama berperan penting. Stasiun ini menjadi stasiun vital agar kereta bisa menunggu. Wajar, karena di stasiun ini terdapat tiga jalur - pada saat itu musimnya satu jalur.

Jika melihat Stasiun Kebayoran Lama saat itu, rasanya mustahil stasiun itu dipermodern. Bagaimana tidak? Staasiun itu semrawut pake bingit, bergabung antara jalan Kebayoran-Ciledug yang sangat ramai, lalu lintas pelintas yang bekerja plus.....pasar tumpah. Seru deh jika mengulang memori. Kereta tiba ke Stasiun Kebayoran Lama melewati pedagang-pedagang di pasar itu yang menempatkan dagangan dengan jarak yang sangat dekat.

Tapi kini, cobalah mampir. Iyes, mampir ke Stasiun Kebayoran Lama. Dan nikmatilah transformasi hebatnya.

Saya tidak mau berpolemik dengan siapa yang berjasa. Saya hanya ingin menggarisi beberapa hal:

  • Adanya niat baik untuk mewujudkan sebuah rencana
  • Rencana bukan hanya rencana, tetapi ternyata bisa terlaksana
  • Sesuatu yang sepertinya mustahil, seperti membuat stasiun yang steril dari penumpang tak bayar termasuk pedagang, jika ditekuni dan dicari solusi, akan menemukan jalan penyelesaiannya.
  • Tidak munculnya gejolak yang luar biasa pada saat rencana itu terlaksana. Ini bisa diartikan pendekatan yang dilakukan bisa diterima berbagai kalangan.
  • Teguh hati melaksanakan sebuah rencana dengan maksud yang baik meski dihadapkan kepada penolakan beberapa kalangan.

Kini, saya bisa berkata bahwa Stasiun Kebayoran Lama tidaklah kalah dengan stasiun di luar negeri. Bolehlah ada yang berkata bahwa kita kalah beberapa tahun (atau berpuluh tahun), tetapi bagi kita - terutama saya - itu bukanlah sebuah hal yang mesti dibesarkan. Justru, hal yang lebih baik digaungkan adalah adanya implementasi dari sebuah rencana dan kebijakan bagi kemaslahatan masyarakat.

Bravo kepada Pemerintah - sekarang ataupun yang lama.

Selamat menikmati infrastruktur keren buat masyarakat.

Ayoooo kita jaga infrastruktur keren ini bersama-sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline