Intan Rosmadewi. Kami memanggilnya Bunda Intan atau Bunda saja. Beliau adalah seorang penulis cukup produktif di Kompasiana. Total sampai tulisan ini dibuat, sudah 195 artikel beliau buat dengan hampir 50 persennya masuk kategori pilihan. Bunda pun aktif mengikuti acara-acara komunitas, termasuk berkesempatan ikut tour ke pertambangan di Nusa Tenggara. Saya melihat Bunda Intan sebagai seorang sosok yang inspiratif.
Bagaimana tidak? Beliau ternyata memiliki dua belas anak. Dua belas, saudara. Bayangkan. Di kala saat ini seorang ibu hanya dan ingin memiliki anak cukup dua saja, beliau melahirkan dan mendidik dua belas putera dan puteri. Alangkah beratnya, bukan? Bukan itu saja. Di sela-sela membesarkan anak-anaknya, dan juga melakukan pekerjaannya sebagai seorang pendidik, Bunda pun masih keukeuh meneruskan jenjang pendidikan pasca sarjana. Beliau meraih gelar MPd sekitar lima tahun lalu.
Yang menarik saya untuk meminta izin berkunjung silaturahim ke rumahnya di Ciburial, Bandung 2 Juli 2016 kemarin, adalah kenyataan bahwa ada beberapa anak-anaknya yang juga suka menulis. Putera keduanya sudah tidak asing lagi di Kompasiana. Dia adalah Dzulfikar Al A’la, penulis produktif yang sering memenangkan lomba. Putera ke lima, Fawwaz Ibrahim – mahasiswa jurusan filsafat dan aqidah – juga menulis di Kompasiana dengan artikel berjumlah 100 buah, 70persennya masuk kategori pilihan. Juga anak ke delapan, seorang puteri – Hannah Siti Hajar Karimah – yang mulai menulis. Terakhir, ada Rara Muhammad – puteri ke tujuh – yang juga mulai menulis sejak April 2015 dengan 40 artikel.
Diari sebagai awal kesenangan menulis
Ketika lebih jauh ditanya apa resep memiliki anak yang suka menulis, Bunda tidak memberi jawaban jelas. Beliau tidak memiliki resep tersendiri. Saya mendapatkan kesan bahwa semuanya mengalir saja secara normal. Namun, saat berkomunikasi dengan anak-anaknya, Bunda terkadang mengusulkan mereka untuk membiasakan menulis diari. Bagi Bunda, menulis diari itu bagus karena anak dilatih untuk mengemukakan apa yang dirasakannya dan apa yang dipikirkannya. Itu adalah awal dari kesenangan aktivitas menulis.
Berilah contoh
Saya sempat mengeluarkan unek-unek bahwa anak-anak saya tidak punya bakat menulis. Dengan tegas Bunda menjawab “Biarkan saja. Kang Rifki nulis saja. Biar anak-anak melihat apa yang dikerjakan ayahnya. Nanti juga sedikit demi sedikit mereka akan ikut”. Sebuah jawaban yang sederhana dan tepat. Biarkan anak melihat dari contoh. Biarkan anak merasa tertarik dengan sendirinya, sehingga jika pun mereka mengikuti dan melakukan aktivitas tersebut, mereka melakukannya dengan riang dan bahagia. Kalaupun mereka tidak melakukan aktivitas tersebut, bisa saja mereka tidak memiliki interest dalam aktivitas itu.
Apa yang Bunda kemukakan di atas, secara jelas tergambar dari tulisan putrinya, Rara Muhammad berjudul Menulis di Blog: Peluntur Duka Bagi Bunda. Dengan bahasanya yang cair dan khas anak muda, Rara menceritakan proses healing bundanya dari duka ditinggal terkasih, suaminya yang juga ayah Rara. Rara melihat bahwa menulis adalah peluntur duka bundanya. Yang menarik adalah Rara jelas-jelas melakukan pengamatan terhadap apa yang dilakukan bundanya.
“Perlahan namun pasti Bunda bangkit. Bunda mulai beraktivitas seperti biasa, mengajar dan mengisi pengajian di beberapa masjid. Beliau pun mulai banyak menulis baik di laman Facebook-nya atau di Kompasiana. Lebih banyaknya tulisan mengenai kepergian Ayah, lama kelamaan rutin menulis artikel yang lebih panjang sesuai dengan gayanya sendiri. Hal apapun ditulis Bunda, semangat berbagi lewat tulisan memang cukup tinggi. Pintar menjalin silaturrahim sesama penulis dunia maya, Bunda pun rutin ikut event-event bersama Blogger Bandung”.
Dari satu alinea cerita Rara itu, terlihat apa aktivitas Bundanya yang sadar atau tidak sadar muncul sebagai sebuah contoh. Itulah aktivitas yang saya cetak tebal: menulis.
Demikian pula sebuah kalimat lucu dengan bahasa anak muda mencerminkan sebuah pesan dari aktivitas yang dijadikan contoh. “....Jika tidak begadang hingga malam, setidaknya shubuh hari sudah nongki-nongki cantik di depan notebook untuk menulis kembali...”.