Lihat ke Halaman Asli

Rifki Feriandi

TERVERIFIKASI

Open minded, easy going,

Impian Dia yang Tidak Bermimpi

Diperbarui: 24 Mei 2016   18:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: thequotepedia.com

“Tuliskan mimpi-mimpimu. Fokus wujudkan itu!”

Begitu kalimat awal yang saya baca. Tuliskan. Dan fokus wujudkan.

Ah, dunia tidak seindah kata-kata penyemangat itu. Tapi, okelah. Kilas balik mungkin bisa mengubah itu.

Saya, penulis, bisa jadi lahir atau berkembang tanpa mimpi. Apa mimpi itu? Cita-cita. Ah, hanyalah sesuatu mengawang-awang. Keinginan? Bisa jadi keinginan.

Hidup di lingkungan keluarga tradisional di era 70-an dengan hidup pas-pasan khas orang tua pegawai negeri jujur, membuat saya tidak terlalu banyak keinginan. Manut. Ikut. Dibumbuin sedikit berontak. Keinginan belajar di sekolah tertentu? Ah lupakan. Sekolah yang dekat-dekat saja agar minim biaya. Keinginan memilih baju sendiri? Ah lupakan. Cukup setahun sekali saat Lebaran, dengan kain seadanya, dijahit ibu dengan mesin Singer tuanya. Tujuh bersaudara, seragam semua. Keinginan jalan-jalan wisata ke Bali atau mancanegara? Ah lupakan. Cukup berwisata di depan air mancur Alun-alun Bandung saja. Jadinya, mungkin saya tumbuh tuna-keinginan. Tanpa keinginan, minus mimpi. Jadinya hanya satu mimpi yang muncul. Sangat ideal. Sangat mulia. Cenderung tipikal basa-basi. Sebuah mimpi yang menjadi cita-cita: membahagiakan orang tua dan mengangkat harkat derajat mereka.

Tapi kan Allah Maha Kuasa.

Lulus SMP ternyata saya masuk ke SMA yang berbeda dari tujuh kakak sebelumnya. Bukan karena keinginan berbeda, hanya ikut-ikutan saja. Lulus SMA, langsung menyebar lamaran kerja ke lebih dari 20 perusahaan, karena “nasib” sudah ditanam di benak: tidak ada turunan bersekolah di perguruan tinggi. Beasiswa atau sejenisnya tidak ada dalam perbendaharaan kata. Hanya “Proyek Habibie” yang dicoba dijalani, dengan memberanikan diri tidur di Mesjid Istiqlal demi ikut seleksi. Gagal. Tanpa kecewa. Juga entah kenapa bisa, kok justru saya diterima di sekolah bersimbol gajah bersila di jalan Ganesha.

“Your story may not have such a happy beginning, but that doesn’t make you who you are. It is the rest of your story, who you choose to be” – Kung fu Panda

Empat setengah tahun. Pas. Dengan melewati segala jibaku dan keputusasaan. Lalu dengan memakai sepatu pinjaman yang kebesaran, kupakai juga pakaian toga biru yang jelas-jelas juga kegedean, kugandeng dua makhluk istimewa dengan air mata bercucuran. Air mata kebahagiaan Ibu Bapak. Cucuran sejenis saat lulus SMP. Lalu lulus SMA. Dan kini saat lulus dari Jalan Ganesha.

Lalu langkah kaki bercerita di pergulatan kerja, mulai graduate yang tertekan dan selalu sakit perut kala disuruh rapat kerja, hingga menjejakkan kaki sebagai TKI di beberapa negeri. Seminggu. Sebulan. Berbulan-bulan. Bilangan tahun. Bertahun-tahun. Dan bertahun-tahun pun lalu menjelma menjadi seorang pribadi yang mempercayai ini: Allah mengarahkan jalan umatNya.

Jangan pernah menyerah. Jalani kehidupan ini.

Dan kehidupan pun menemukan diri yang lain. “Oh, aku bukan pengekor. Aku ternyata bisa memimpin”. “Ah...ternyata aku berani bicara di depan umum”. “Hm... ternyata aku bisa menulis”. Ternyata......AKU BISA.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline