Lihat ke Halaman Asli

Rifki Feriandi

TERVERIFIKASI

Open minded, easy going,

[Ketapels–Berdaya] Ini Bukan Simbol Metal, Darling. Ini C.I.N.T.A

Diperbarui: 17 April 2016   14:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Yang menarik dari Komunitas Tuna Rungu ketemu Blogger)

Pada tanggal 10 April 2016 kemarin, Komunitas Kompasianer Tangsel Plus (Ketapels) mengadakan acara perdana. Acara itu adalah menghadiri acara “Komunitas Tunarungu Jumpa Blogger: Sebuah Misi Pemberdayaan”. Acara ini dilaksanakan dalam rangka ulang tahun pertama Deaf Cafe Fingertalk. Acara diskusi yang mengasyikan inin menghadirkan Dissa Syakina Ahdanisa – pemilik Deaf Cafe Fingertalk, Pingkan Carolina Rosalie Warouw – Ketua Inasli (Indonesian Sign Language Interpreter) dan Pat Sulistyowati – mantan Ketua Gerkatin (Gerakan Kesejahtereaan Tunarungu Indonesia). Acara tersebut dihadiri sekitar 15 orang anggota Ketapels, plus dua undangan – duo Thamrin (Thamrin Sonata dan Thamrin Dahlan).

Selain mengasyikan, ternyata ada beberapa hal menarik muncul dari acara seru tersebut, bahkan cukup mengejutkan. Inilah dia.....

Three in One

Saat awal acara, saya kebingungan. Saya yang duduk bisa dikatakan paling depan, melihat seseorang perempuan berbaju hitam duduk sendirian membelakangi audiens, dan berhadapan dengan satu orang panelis. Bingung. “Nih orang kok duduknya sendirian di depan. Jangan-jangan dia adalah penerjemah bahasa isyarat yang sedang latihan? Atau justru sedang ujian?”. Perempuan ini jarang sekali menengok ke belakang, karena tangannya sibuk berbicara. Kesibukan yang sama yang juga dilakukan oleh pria muda di belakang Bu Pinky yang sedang berbicara.

[caption caption="Perempuan berbaju hitam membelakangi audiens | Foto: Rifki Feriandi"][/caption]Dari kupasan Bu Pinky, penulis lalu siapa perempuan berbaju hitam itu. Beliau adalah interpreter yang menerjemahkan apa yang Bu Pingky (atau siapa-pun yang berbicara) diskusikan. Apa yang beliau sampaikan dengan bahasa tangan adalah untuk konsumsi Bu Pat, yang persis berada di depannya. Bukan untuk konsumsi orang lain. Sementara itu pria muda, yang juga seorang ustadz, yang berdiri di belakang Bu Pinky, menerjemahkan untuk konsumsi deaf-deaf lainnya yang berada di belakang audiens. Dan Bu Pinky sendiri, sebagai pembicara berbicara dengan bahasa Indonesia, dan sesdekali menguatkan dengan bahasa isyarat.

Seperti itulah sedikit “kerepotan” biasa dalam sebuah diskusi dengan komunitas tuna rungu. Ada tiga “pembicara” dalam satu forum. Dan menurut Bu Pinky, seorang interpreter bisa melakukannya dengan duduk, terbatas jika audiens tulinya tidak lebih dari lima orang. Lebih dari itu, interpreter melakukannya sambil berdiri.

 [caption caption="Tiga penerjemah bahasa isyarat untuk satu forum | Foto: Rifki Feriandi"]

[/caption]Dan ternyata, perempuan berbaju hitam itu bukanlah interpreter yang sedang ujian. Beliau adalah Bu Sasanti, seorang interpreter bahasa isyarat senior, yang sering kita lihat di beberapa acara di teve pagi hari.

Forever Young a.k.a Biterhamen

Jika kita memperhatikan bagaimana Bu Pinky berbicara dengan bahasa isyarat, maka mau tidak mau kita akan tersenyum. Ekspresinya itu loh. Kalau sedih, facial expressionnya terlihat cemberut. Jika semangat, demikian pula, rautnya berubah menjadi bergairah. Gerakan mata dan gestur kepalanya selalu berubah. Semuanya disesuaikan dengan tema atau konteks pembicaraan saat itu.

[caption caption="Bu Pinky dengan ekspresinya | Foto: Rifki Feriandi"]

[/caption] “Ekspresi itu sangat penting dalam bahasa isyarat”, begitu suatu ketika beliau berbicara. Kenapa hal itu penting? Karena ada kalanya beberapa sign atau isyarat yang dipakai akan memiliki arti berbeda, dan akan tergantung dari tema atau konteks pembicaraan saat itu.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline