Kindness is the language which the deaf can hear and the blind can see (Mark Twain)
Sepertinya sesederhana itulah kunci memberdayakan kaum yang selama ini terpinggirkan: KEBAIKAN. Kebaikan adalah bahasa yang didengar tuna rungu dan dilihat tuna netra. Dan itulah juga pesan yang ingin disampaikan dalam acara “Komunitas Tunarungu Jumpa Blogger: Sebuah Misi Pemberdayaan” yang dilaksanakan hari Minggu, 10 April 2016 dalam rangka memperingati ulang tahun pertama Kafe Tunarungu (Deaf Cafe) Fingertalk. Dengan kebaikan, yang diimplementasikan, maka tuna rungu pun bisa diberdayakan dan diangkat harga dirinya.
[caption caption="Aktivitas pertama Ketapels | Foto: Rifki Feriandi"][/caption]
Dan di Deaf Cafe ini pula lah kami mendapati empat “pilar” kebaikan dalam berdayakan tuna rungu. Disebut “pilar” karena ya mirip lah dengan istilah “pilar” dari sisi kebangsaan. Pilar itu adalah inspirasi, ahli, eksekusi dan sosialisasi.
Inspirasi
Mimpi bukanlah mimpi jika tidak diejawantahkan. Dan untuk mendapatkan mimpi yang mudah diwujudkan, butuhlah seseorang yang memiliki inspirasi. David Archuletta saja berani berkata bahwa tanpa inspirasi, kita hanyalah seperti sekotak korek api yang tidak pernah dinyalakan.
[caption caption="Penulis bersama Dissa, pemilik Fingertalk Deaf Cafe | Foto: RIfki Feriandi"]
[/caption]Adalah seorang dara santun, cantik, berotak cemerlang dan berjiwa sosial yang mencoba memantikkan korek api itu sehingga menyala dan berdaya guna bagi saudara kita tuna rungu. Dialah Dissa Syakina Ahdanisa, gadis muda berhijab berusia 26 tahun, yang menguasai empat bahasa. Dissa bukanlah penyandang tuna rungu, melainkan seorang hearing yang memiliki concern tinggi untuk mengangkat saudara-saudara yang memiliki keterbatasan pendengaran. Ya, Dissa sejatinya merealisasikan apa yang dikatakan Marlee Matlin, seorang aktirs tuna rungu pemenang Oscar / Academy Award: “Hearing people have the ability to remove brariers that prevent deaf people from achieving their dreams?”.
Menghilangkan hambatan. Memberi kesempatan. Membantu meraih keinginan. Menebar kebaikan. Berdayakan.
Dengan berbekal pergaulannya yang luas, penyandang gelar S1 Business Administration dari Negeri Sakura dan S2 Professional Accounting dari Negeri Kanguru, Dissa yang sempat bekerja menjadi Business Analyst itu akhirnya lebih menjatuhkan pilihan bekerja sosial. Dan dari volunteer activity di Nicaragua sebagai pengajar bahasa Inggris, Dissa “dituntun” untuk datang ke sebuah kafe berjulukan Kafe Senyum. Kafe inilah – yang mempekerjakan para penyandang keterbatasan pendengaran dan bicara – yang memberikan inspirasi baginya untuk lalu membuka kafe sejenis di Indonesia dan bahkan menjadi kafe tuli pertama di Indonesia.
Ahli
Untuk merealisasikan impiannya, Dissa tentunya harus bertemu dan berkonsultasi dengan orang-orang yang ahli atau orang yang tepat yang memahami dunia ketunarunguan. Dan usaha dan takdir mengantarkan Dissa bertemu dengan Bu Pat.