Un-sung heroes
Oleh Rifki Feriandi
No peserta 10
Lagu khas membanggakan Gaudeamus Igitur sudah dari tadi berkumandang. Pidato pembukaan dan wejangan Rektor dan para pejabat baru saja usai. Wajah-wajah tengah baya dengan paras bahagia, sedikit demi sedikit luntur dengan kepala terayun-ayun bak helai daun mencumbu sepoi angin. Entah sebab pidato monoton atau hawa adem.
Seorang pemuda dengan jubah kebesaran wisuda dengan gagah melangkah ke podium. Suit-suitan dari beberapa wisudawan cowok dan pekikan dua wisudawan perempuan memaksa dia menghentikan langkah sejenak dan menengok ke arah para hadirin. Dia lalu tersenyum, atau tepatnya sedikit terkekeh-kekeh.
Sesampainya di mimbar, jelaslah terlihat wajahnya. Mirip Reza Rahardyan edisi lebih mudaan. Cocok, karena Reza pula nama wakil wisudawan itu. Dia membuka bicara dengan bersalam.
'Wisuda di hari Pahlawan? Hmm...boleh juga', suara beratnya mulai terdengar. Petinggi kampus terlihat mesem-mesem.
'Saya pernah bertanya pada ibuku: 'Mak, emang kita gak ada turunan pahlawan sama sekali?'', wajahnya menyorot seorang perempuan menjelang tua berjilbab yang duduk di baris ke tiga. Perempuan itu tersenyum. Khas, senyuman tulus seorang ibu untuk anaknya.
'Saya tidak perlu memaksa Emak menjawab, karena saya sudah tahu jawabannya', lanjutnya. Wajahnya berputar menyapu ruangan.
'Hadirin. Kakekku seorang rakyat biasa. Kuburnya saja di gunung, di bawah pohon tanjung. Belum tentu setahun sekali saya bisa berkunjung''
'Dia hanya seorang petani yang merangkap muadzin. Profesi yang kerap ditinggalkan saat tetua kampung meminta rakyat mengungsi atau menjadi pagar betis. Terkadang Kakek pergi berminggu atau berbulan. Sebagai pagar betis, Kakek cukup memotong bambu tua di kebunnya, dan meruncingkannya sebagai senjata. Persis yang selalu dia siapkan memburu hama babi hutan'.
'Kakek itu baik hati dan penuh improvisasi. Saat dia melihat ada musuh dia langsung berimprovisasi: berazan, meski bukan saatnya solat. Di kalimat 'hayya alas solah' dia ganti dengan kalimat 'aya..... Walanda....''(1). Reza mengucapkannya sambil melagukan kalimat itu dengan lagu adzan. Wajah-wajah mengantuk para hadirin berangsur cerah seperti embun pagi menjemput mentari. Senyum mereka tersungging.
'Meski dua hari bicaranya serak karena saat itu tidak ada pengeras suara, tapi adzan Kakek berhasil menyelamatkan warga desa yang bisa bergerak mengungsi sebelum Belanda tiba'.