Lihat ke Halaman Asli

Rifki Feriandi

TERVERIFIKASI

Open minded, easy going,

Kurikulum baru - Haruskah buku anakku berakhir di timbangan?

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kardus besar berisi buku-buku pelajaran itu teronggok di dekat pintu. Entah sudah kali ke berapa kardus itu pindah tempat. Dan entah sudah berapa kali juga kardus itu diturunkan dari bagasi mobil.

Ya. Kardus itu berisi buku-buku pelajaran kelas 9 SMP kepunyaan anakku yang sekarang sudah naik ke kelas 10 SMA. Buku-buku itu rencananya mau disumbangkan agar bisa bermanfaat. Namun rencana itu urung direalisasikan. Dua orang teman yang mengurus organisasi lepas yang suka membagikan buku berkata bahwa untuk sementara mereka tidak menyalurkan buku pelajaran. Alasannya adalah karena kurikulum akan berganti dan dipastikan buku lama tidak terpakai. Demikian pula pernyataan ibu ramah penjaga perpustakaan sebuah Sekolah Tinggi bahwa bahkan untuk program CSR sekolah, lebih diutamakan buku-buku pengetahuan umum. 'Buku-buku pelajaran agak susah dihibahkan karena percuma jika nantinya tidak dipakai dalam kurikulum baru'. Beliau lalu mengajak diskusi tentang bagaimana dana BOS untuk pembelian buku di kurikulum sebelumnya menjadi sia-sia dan berapa banyak buku-buku itu harus disingkirkan dari perpustakaan-perpustakaan sekolah dan rak-rak buku lainnya untuk dibakar.

Saat itu, pikiran saya melayang ke dua-tiga dekade lewat. Saat itu saya pandangi sebuah buku. Warnanya sudah menguning. Lusuh. Pinggirannya sudah mulai banyak yang sobek. Coretan-coretan pensil masih kentara terlihat. Namun buku itu masih terlihat rapi tersampul, entah untuk ke berapa kali. Buku itu - juga buku-buku lainnya saat itu, adalah buku-buku pelajaran yang didapatkan turun temurun. Masih cukup terlihat juga tapak bekas tulisan yang dihapus di cover itu: Ridha, Geni, Hendi - kakak-kakakku, pBuku itu dipakai oleh kakak saya yang ke tiga, ke empat, ke lima dan ke enam sebelum jatuh kepada saya sebagai anak penutup. Dan kita semua menggunakannya. Dan itu berarti ayahku bisa bernafas lega - tuntutan harus membeli buku bisa teratasi.

Dan kini saya dan istri duduk terdiam, memandangi kardus besar itu. Sampai akhirnya istriku berkata dengan sedih, 'Apa kita kiloin saja Yah'.

Duh......

Plis deh bapak-bapak yang punya kuasa. Tolong jangan bermain-main dengan hal ini. Kerahkanlah kemampuan profesional pendidikan di semua lini untuk mencari yang terbaik bagi anak didik yang adalah generasi penerus kita. Mereka ada di sekitar Anda. Mereka cerdas cerdas dan bernurani. Abaikan segala kepentingan golongan dan iming iming duniawi. Wahai mereka yang berwenang penentu kebijakan. Pakailah kebijakan Anda. Pakailah nurani, sekaliiiiii ini saja. Buatlah keBIJAKan yang penuh keBAJIKan.

Wahai. ......aaaah, capek deh...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline