Dalam salah satu acara jalan-jalan di kanal Fiksiana, saya berlabuh di sebuah artikel bejudul "Jadikan aku ruh dalam fiksimu", karya Mas Erri Subakti. Saya menyukai tulisan itu, seperti juga tulisan-tulisan fiksi Mas Erri lainnya yang pernah saya baca. Tulisan itu menarik, karena selain menggunakan pilihan-pilihan kata indah yang enak dibaca, alur yang jelas dan ringan, tulisan ini pun dibumbui sebuah klip video berisi lagu. Dan lebih menarik lagi bagi saya adalah tulisan itu ternyata memberi sebuah "arti" untuk diresapi.Padahal saat itu pikiran saya masih menganggap bahwa cerita fiksi itu hanyalah karya imajinatif belaka, yang paling-paling hanya untuk memuaskan dahaga pembaca terhadap keindahan sebuah sastra, tetapi minus sebuah "makna". Tenyata tulisan fiksi itu ternyata bisa memuat isi untuk dipunguti.
Sedikit tersadar, lalu saya buka beberapa buku fiksi yang ada di rak buku saya. Winnetou, cerita karya Karl May, jilid satu yang bahkan belum sempat saya selesaikan bacanya, memberikan sebuah pelajaran tentang kekuatan sikap seorang Greenhorn termasuk di dalamnya kesungguhan usaha menjalankan tugas (pemetaan jalan kereta). Demikian pula buku trilogi populer Andrea Hirata, di luar makna universal dari ceritanya, cukup jelas memperlihatkan sebuah "pengajaran" tentang biologi tumbuh-tumbuhan, dengan dipergunakannya istilah-istilah latin khas disertai dengan sedikit uraiannya. Dan lalu saya pun mengambil dua buah buku karangan Dan Brown berjudul Da Vinci Code dan Angels and Demons yang saya pikir juga telah memberikan sebuah arti bagi saya.
Dua buku International Best Seller yang saya ambil itu adalah versi bahasa Inggris dari novel terjemahan bahasa Indonesia yang sudah saya baca. Kedua buku itu adalah edisi khusus kolektor, dengan tanda "Special Illustrated Collector's Edition", sebagai hasil dari hobi hunting buku-buku bagus dan murah, dan saya beli sewaktu berkunjung ke toko buku QBD Brisbane beberapa tahun lalu, dengan harga yang yang juga spesial - sekitar 13 dolar-an. Buku dengan lembaran kertas tebal itu menawarkan cara lain memberikan "isi" dari buku itu untuk "dipungut", yaitu berupa ILUSTRASI.
Sebelum muncul film yang diangkat dari novel tersebut, pengetahuan saya tentang kebudayaan klasik Eropa yang kental dengan nuasan Kristiani sedikitnya menjadi bertambah dari ilustrasi yang muncul di buku The Da Vinci Code edisi ilustrasi ini. Ilustrasi-ilustrasi berupa salinan gambar-gambar (atau foto-foto) lukisan-lukisan adiluhung karya Picasso, Monet, Da Vinci - tidak saja lukisan Monalisa, tetapi The madonna of the Rocks serta the Virgin of the Rock atau lukisan-lukisan di atap-atap gereja-gereja di Eropa, sudah cukup menambah pengetahuan seni bagi saya yang awam. Belum lagi jika kita melihat beberapa "contekan" manuskrip hasil olah Leonardo da Vinci sebagai seorang penemu, seperti skestsa lengan robot (robot arm) atau sketsa senjata dan mekanisme air (mombard and water mechanism). Dan pastinya, di buku ini pun saya bisa menemukan foto diri Leonardo da Vinci, yang rasanya kok mirip-mirip dengan wajah Einstein atau Affandi sang Maestro Pelukis (maksudnya brewokan-nya). Sebuah "isi" yang mungkin akan sedikit saya dapatkan dari buku standar yang tanpa ilustrasi,
Sementara itu, dari buku Angels and Demons, pengetahuan saya yang bertambah adalah justru mengenai hal-hal yang berbau eksakta. Dimulai dari pengenalan foto-foto berwarna para ilmuwan, baik itu ilmuwan canggih super jadul seperti Nicolas Copernicus dan Galileo Galelie, maupun mereka yang lebih kini seperti Edwin Hubble, saya pun menjadi belajar lebih dari foto-foto - yang juga berwarna - jejak-jejak jika partikel-partikel bertumbukan - untuk menghasilkan energi baru, mesin untuk memfasilitasi tumbukan itu, atau jejak bangunan bawah tanah tempat terjadinya percobaan penumbukan antar partikel itu, yang menjadi latar belakang novel itu.
Dari buku-buku di atas, ternyata tulisan-tulisan fiksi bisa memberikan isi dengan berbagai cara, termasuk salah satunya yaitu dengan memberikan ilustrasi. Dan dari pengalaman membaca beberapa novel di atas, serta tulisan Mas Erri Subakti, saya mendapati bahwa sebuah fiksi akan menjadi lebih menarik jika ceritanya masuk akal atau realistik, "dilandasi kesadaran dan tanggung jawad dari segi kreatifitas sebagai karya seni" (mengutip pusatbahasaalazhar,wordpress.com) dan memberikan sebuah arti atau pemaknaan bagi pembacanya. Atau ringkasnya, dengan meminjam istilahnya Mas Erri, "NIKMATI FIKSINYA, PUNGUTI ISINYA"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H