Lihat ke Halaman Asli

Rifki Feriandi

TERVERIFIKASI

Open minded, easy going,

Empat Puluh Enam Tahun Kompasiana (2)

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13335137631402253756

[Mirip Resensi] Buku PK Ojong: Kompasiana. Esei jurnalistik tentang berbagai masalah - 2

Buku PK Ojong: Kompasiana ditampilkan mirip dengan susunan tata letak bentuk aslinya di suratkabar Kompas antara tahun 1966 dan 1971, yaitu dengan lebar satu kolom, disusun berdampingan, yang sesuai dengan gaya khas penulisnya, pendek, ringkas dan padat. Buku cukup tebal ddengan 813 halaman ini tidak diberi judul di tiap tulisannya, hanya dibubuhi kode nomor, yang mengacu ke daftar isi tiap tema.

Buku ini kental dengan kondisi tahun 66-an, tatkala terjadi peralihan Orde Lama ke Orde Baru. Dalam satu sisi, buku ini berhasil menampilkan sebuah sejarah dari salah satu sudut pandang pelaku - media. Sebuah sudut pandang yang cenderung jujur, apa adanya dan terlepas dari kepentingan pribadi - lebih mengutamakan kepentingan rakyat. Dalam sisi lain, buku ini pun beraasil memperlihatkan suatu nilai yang lintas waktu, yang tetap terasa aktual dalam kenyataan mutakhir. Dengan mengambil bebeerapa tulisan secara acak, aromaa nilai linttas masa sangat kental terasa. Dalam tulisan nomor 1 di Bab I dengan teema media massa, halaman 3 dan 4 secarra terus terang PK Ojong menuliskan pikirannya tentang 'Pers sebagai ssocial control'. Dalam tulisan yang mengupas kekayaan Menteri Jusuf Muda Dalam yang selama delapan bulan tidak diketahui, beliau berkata 'pengetahuan itu (tentang kekayaan Menteri yang hanya diutarakan sebagai omongan antar kenalan atau gosip lisan - peny) tidak mempunyai efek sosial. Tidak dapat berkembang menjadi social control'. Setelah informasi (beliau menyebutnya pengetahuan) itu disusun wartawan dan dicetak surat kabar, barulah hal itu menjelma menjadi social control. 'Barulah pengetahuan tentang tindakan-tindakan menyelewengkan dari menteri itu menjadi senjata yang ditakuti oleh yang bersangkutan, dan oleh ... menteri yang sekarang masih berkuasa, agar mereka di kemudin hari ngeri berbuat demikian'.

1333514219880646877

Beliau juga mengingatkan bahwa 'menteri-menteri yang sudah diamankan itu bukanlah obbyek utama kita. Mereka adalah obyek dari pengadiilan...'. 'Obyek dan tujuan kita ialah kemudian hari, sejak hari ini sampai nanti. Sampai anak cucu kita bercucu pula. Objek kita kini menteri-menteri yang kini sedang berkuasa dan menteri-menteri yyang akan menyusul mereka. Mereka harus bekerja dengan pikiran bahwa selalu ada pentungan (social control) yang selalu siap sedia memukul mereka. Kalau menyeleweng'. Sebuah aktualitas tulisan yang berjalan melintas beberapa generasi. Dalam Bab II tentang masalah politik halaman 133, PK Ojong membawa cerita pertanyaan seorang peserta dalam seminar di UI tentang ketidaktepatan kata 'pemerintah'. 'Karena dalam kata itu tersimpan kata 'perintah' maka kedengarannya otoriter, seakan-akan apa saja yang dikatakan Pemerintah harus dituruti rakyat sebagai suatu 'perintah'. Dalam bahasa Inggris, government lebih baik. To govern berarti 'mengatur'". Sebuah wacana yang sangat terasa sekali untuk saat ini, kala masyarakat merindukan ketegasan para 'pengatur' itu.

1333514687490932867

Dalam masalah pelayanan masyarakat pun, Kompasiana PK Ojoong tanggal 21 Oktber 1966, mengusung peristiwa kaburnya pesakitan 9 tahun penjara ke luar negeeri, serta berbagai alasan petugas tentang hal itu dalam kaitannya mempermainkan pengadilan dan paspor. Kasus yang persis seperti melenggangnya Gayus dari tahanan pada jaman kini itu, dibahas dengan sangat polos disertai beberapa dugaan yyang terjadi. Meski berujung dengan saran introspeksi - 'untuk menyehatkan diri kita sendiri', tulisan itu secara keras menampar para abdinegara dengan statement di halaman 313, kolom 2 alinea 3: 'kalau pegawai-pegawai negeri merasa gajinya tidak cukup dan imannya tidak kuat dan tidak mengenal jalan lain yang halal untuk mencari tambahan nafkah, kami semua rakyat yang beritikad baik - mempersilakan mereka berhenti seebagai alat negara dan mencari pekerjaan lain',...'Tapi kalau mau tetap sebagai alat negara janganlah turut melakukan kejahatan yang sangat mencemarkan nama baik negara dan bangsa kita, yang sangat merugikan tanah air kita'. Dalam halaman selanjutnya, PK Ojong bahkan secara gamblang menyebut 'kejahatan yang turut dilakukan oleh alat-alat negara kita adalah kejahatan yang mengandung unsur-unsur pengkhianatan". Secara lugas, artikel ini ditutup dengan kalimat yang kembali sangat pas untuk kondisi sekarang 'kalau kejahatan nasional ini (bukankah kasus Gayus termasuk kejahatan tipe ini? - pen) dibiarkan, diperlakukan secara plin-plan, dilayani setengah-setengah, maka boroknya akan makin mengganass'. (bersambung) ======== Artikel terkait sebelumnya: Selamat Ulang Tahun ke-46 Kompasiana (1)



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline