Lihat ke Halaman Asli

Rifki Feriandi

TERVERIFIKASI

Open minded, easy going,

Bu Minah dan Refleksi Kasih Ibu Tak Berujung

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saat itu jam satu siang, tatkala mentari masih menyorotkan sinar panasnya. Kawasan Pondok Indah mulai kembali dilanda kemacetan, kendaraan bergerak pelan. Saat itu tanpa sengaja kulihat sesosok wanita yang sedang sibuk menggendong dengan amat susahnya. Ibu paruh baya itu berjalan menuju bundaran PI, dengan sekali-kali berhenti, membetulkan gendongannya. Dari jalur seberang tempat saya berada, kentara sekali bahwa yang berada dalam gendongannya bukanlah makhluk mungil bayi berusia balita. Dugaanku yang digendongnya pastinya seorang anak beranjak remaja, karena kaki panjangnya yang kurus tanpa daging menjulur dari kain gendongan dan tangan yang sama kurusnya pun menjuntai lebih panjang dari tangan seorang anak kecil. Kepalanya yang normal serasa tidak proporsional dengan badannya. Sepertinya remaja itu cacat, dan menderita keterbelakangan mental. Hanya orang bebal saja mungkin yang nuraninya tidak tersentuh, hatinya tidak terketuk melihat pemandangan seorang ibu yang menggending beban berat di terik sore seperti itu.

Ternyata dugaanku benar. Sewaktu saya dekati, ibu itu sedang berjongkok, beristirahat untuk mengambil nafas, sambil membetulkan kain gendongannya yang kembali merosot. Tidak terlihat roman tertekan di wajahnya. Biasa-biasa saja, bahkan cenderung terlihat senyum sabar dibandingkan cemberut lelah atau capek. Wajah anaknya pun membuatku mengurut dada. Air liur berbusa di mulutnya menetes dan makin banyak. Matanya bergulir ke kiri dan ke kanan, tetapi badannya, Masya Allah, sangat kurus, lumpuh. Ketika saya tahu bahwa ibu itu sedang menuju halte busway yang masih jauh, saya ajak dia naik ke taksi yang sedang saya naiki. Dan di taksi itulah, dalam perjalanan sekitar satu kilometer, dalam waktu sekitar sepuluh menitan, saya mendapatkan hikmah kehidupan.

Ibu itu, panggil saja dengan nama Minah, ternyata baru pulang 'jalan-jalan' dari rumah saudaranya di sekitar perkampungan Pondok Pinang atau sekitarnya. Entahlah apa maksud jalan-jalannya, silaturahim, meminta pinjaman uang atau menghibur anak cacatnya. Yang pasti dia melakukan perjalanan menggendong anak remajanya itu dengan jarak yang cukup jauh. Dari rumahnya Tanjung Priok ke Pondok Indah bukanlah jarak yang dekat.

Anak yang digendongnya - sebut saja Iwan - adalah anak bungsunya. Mengetahui berapa usianya membuatku sedikit terdiam. Anak itu telah berusia 18 tahun. Bayangkan usia emas manusia dalam mencari jati diri, baik dengan berkelompok atau mengenal lawan jenis, dia tidak mengenalnya. Tatkala orang lain seusianya sibuk dengan sekolah, dia masih digendong. Kala orang lain mengenal teman perempuannya, mungkin hanya emaknya seorang saja perempuan yang setia menemani.

Bu Minah akhirnya bercerita bahwa sejak kecil Iwan sudah seperti itu. 'Tapi, sampai usia satu tahun, dia hidup normal Om, kayak orang lain'.

Itu berarti selama tujuh belas tahun, Iwan praktis bergantung kepada emaknya, dan digendong ibunya - selain bapaknya - ke mana pun dia pergi. Hanya rasa kasihan yang bisa tumbuh atas nasib Iwan seperti itu. Bayangkan, alangkah sabarnya dan kuatnya Bu Minah selama tujuh belas tahun menggendong beban seorang Iwan seberat dua puluh delapan kilogram. 'Berat sih, tapi saya diringankan Om', katanya.

Bu Minah melanjutkan, bahwa pada usia satu tahun, Iwan terjatuh. Entah karena jatuhnya terlalu parah, Iwan akhirnya harus diambil darah dan juga sumsum tulang belakang (saya tidak bertanya terlalu jauh tentang ini meski ada pertanyaan itu di benak). Sejak itulah, lalu Iwan menjadi lumpuh.

Di kursi depan taksi itu, Iwan kembali gelisah. Kepalanya memutar ke kiri dan ke kanan. Sepertinya dia tahu ada orang lain yang berbicara dengan ibunya.

'Iwan bisa melihat Bu?' tanya saja.

Menjawab pertanyaan itu, Bu Minah menarik nafas dan berkata bahwa sepertinya Iwan hanya bisa melihat bayangan saja. Dia sendiri tidak yakin. Kalaupun mendengar, Iwan rasanya bisa mendengar katanya.

'Lalu, gimana Iwan bisa tahu ini ibunya?' tanya saya lebih lanjut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline