Lihat ke Halaman Asli

Yang Bergitar dan yang Terlentang

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Imagine there’s no countries, it isn’t hard to do
Nothing to kill or die for, no religion too
Imagine all the people, living in peace
Imagine no possesions, i wonder if you can
No need for greed or hunger, a brotherhood of man
Imagine all the people, sharing all the world

Imagine, song by John Lennon.

Yogyakarta, suatu siang di akhir Agustus 2007.

Petikan 6 dawai gitar akustik terdengar sayup-sayup dari sebuah kamar kos di pinggiran kota Jogja siang itu. Dua mahasiswa sedang berdiskusi santai, sambil sesekali bernyanyi mengikuti irama syahdu lagu paling populer sejagat karya John Lennon itu. Salah satu mahasiswa tidur terlentang dilantai, matanya memandang lurus keatas ke arah plavon yang berwarna Pink, “...So Girly!!”, batin Mahasiswa Terlentang itu. Sedangkan Mahasiswa yang memetik gitar, si empunya kamar, mengambil posisi duduk bersandar pada dinding, gitar dipangkunya dengan anggun, 5 jemari kanannya gemulai menari memetik senar, sementara 5 jari kiri lainnya sibuk berpindah-pindah posisi menekan senar untuk memainkan Chord. Terkadang ia berhenti sejenak, dihisapnya dalam-dalam sebatang Gudang Garam, dan dikeluarkan dengan khidmat asap pekat melalui hidung dan mulutnya. Sangat Elegan.

“Holocaust adalah pembasmian massal Bangsa Yahudi oleh Nazi. Adolf Hitler yang menjadi kanselir Jerman Sejak 1933, berusaha menghapus Demokrasi dan mengadopsi Paham Rasis Radical sebagai pengganti paham demokrasi untuk mengatur dunia. Tujuannya jelas, menjadikan bangsa jerman sebagai bangsa/ras paling agung di muka bumi. Hitler memandang bangsa yahudi sebagai ancaman utama karena banyak Yahudi hebat yang sukses dalam memimpin dunia kala itu, begitulah latar belakang secara umum lahirnya Holocaust. Setidaknya 6 juta yahudi tewas dalam genosida paling berdarah dalam sejarah peradaban manusia modern itu. Jumlah korban belum ditambah 2 juta rakyat polandia, dan 4 juta manusia lainnya yang dianggap Nazi sebagai Unworthy of Life mereka adalah orang-orang yang memiliki keterbelakangan mental, para tawanan perang uni-soviet, kaum homosexuals, umat Freemason, dan pendukung Jehovah.” Begitu ceramah Yang Bergitar tentang Holocaust.

Beberapa menit kemudian topik diskusi bergeser ke “Kota Tiga Iman”. Ya...Benar sekali, 2 mahasiswa itu sedang membahas...Jerusalem!!!

Yang Terlentang bertanya pada Yang Bergitar “Kenapa Jerusalem tak pernah damai?”.
Untuk Jerusalem, Yang Bergitar berbicara jauh lebih banyak daripada tentang Holocaust. Begini khotbahnya tentang Jerusalem:

“Terlalu banyak air mata, perang, dan pertumpahan darah untuk merperebutkan Kota ini. Tuhan seolah-olah menakdirkan umat manusia terpecah belah dan saling berperang. Mungkin perbedaan memang sudah merupakan ketetapan Tuhan. Bagaimana mungkin Jerusalem bisa damai, sementara Tuhan menjadikannya sebagai kota suci bagi 3 agama langit (Yahudi, Nasrani, dan Islam) sekaligus.”

“Walaupun begitu, walau Jerusalem ditakdirkan untuk di perebutkan, tetap saja ada individu-individu mulia yang menginginkan perdamaian di bumi Jerusalem, dua diantaranya adalah Sultan Saladin dan Anwar Sadat. Saladin dikenang dilembaran khusus sejarah dunia. Orang ini tokoh utama Perang Salib 2 dan 3 sekaligus pemimpin yang paling menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama. Bagaimana tidak, Setelah ia berhasil 2 kali mengalahkan Pasukan Kristen Eropa di bawah kepemimpinan Raja Inggris, Richard the Lion-Heart, Saladin tidak lantas mengusir dan melarang umat non-muslim dari dan ke Jerusalem. Justru sebaliknya, meski Saladin menang perang dan berkuasa atas Jerusalem, ia menjamin keamanan bagi warga non-muslim yang hendak menetap di Jerusalem dan memberikan akses bagi para peziarah, siapapun dan dari agama apapun, untuk pergi ke tanah suci.”

“ Begitu pula dengan Anwar Sadat, Ia adalah Pemimpin arab pertama yang mengunjungi Israel sejak pecah perang antara Israel dan Bangsa Arab. Kunjungannya ke Israel dan Jerusalem adalah untuk mendorong ditandatanganinya Perjanjian Damai Camp David, 17 September 1978. Naskah damai itu ditandatangani oleh Presiden Mesir Anwar Sadat dan PM Israel Menachem Begin serta disaksikan oleh Presiden AS Jimmy Carter. Tapi sayang, niat baik Sadat diartikan lain oleh negara-negara islam anggota Liga Arab dan sekelompok garis keras rakyat Mesir. Pada 6 Oktober 1981 (6 Oktober 1973, dikenang sebagai hari kemenangan Mesir atas Israel) saat Sadat memimpin parade mengenang kemenangan itu, ia ditembak oleh seorang Mesir garis keras, Khaled Islambouli namanya. Sejumlah peluru bersarang di tubuh Sadat. Sadat dan tujuh orang yang berdiri di sekitarnya tewas terbunuh. Itulah akhir perjalanan hidup seorang Pencinta Damai Jerusalem.” Begitu tutur Yang Bergitar.

Yang Bergitar menambahkan ceritanya tentang Sadat. “Ezer Weizmann, Menteri Pertahanan Israel saat itu, menulis bahwa pada abad ke-20 ada dua perjalanan yang akan dikenang seluruh umat: Perjalanan manusia pertama ke bulan dan perjalanan Presiden Anwar Sadat ke Jerusalem. Begitu heroiknya sikap Sadat waktu itu sampai menuai pujian dari seorang petinggi Israel.”
Yang Terlentang bertanya lagi kepada Yang Bergitar, menurutnya kapan Jerusalem akan damai, Yang Bergitar hanya mengangkat bahu dan menjawab santai “Bahkan Perdana Menteri Israel, Shimon Peres, tidak bisa menjawab pertanyaan macam ini, saat itu Peres hanya mengatakan “...We’ll talk about it next time”.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline