Lihat ke Halaman Asli

Kecerdasan Buatan (AI): Lawan atau Kawan Bagi Generasi Z?

Diperbarui: 3 September 2024   13:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 dan 2012, telah tumbuh dalam era digital yang mapan. Mereka telah mengenal dan terbiasa dengan teknologi canggih, termasuk Artificial Intelligence (AI). Hubungan Gen Z dengan AI tidak hanya sebagai pengguna, tetapi juga sebagai aktor aktif dalam pengembangan dan penerapan teknologi ini. Artificial Intelligence (AI) telah menjadi bagian integral dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Sementara AI menawarkan banyak manfaat seperti meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran, juga ada beberapa bahaya yang perlu diperhatikan bagi pelajar. Gen Z telah tumbuh bersama teknologi AI seperti asisten virtual (Siri, Alexa), sistem rekomendasi (Netflix, Spotify), dan aplikasi pembelajaran berbasis AI. Eksposur dini ini membuat mereka lebih akrab dan nyaman dengan AI dibandingkan generasi sebelumnya, yang sering kali melihat AI sebagai teknologi yang kompleks dan asing. Banyak sekolah dan universitas mulai mengintegrasikan pembelajaran berbasis AI dalam kurikulum mereka. Platform pendidikan seperti Duolingo untuk pembelajaran bahasa dan Khan Academy untuk berbagai mata pelajaran membantu Gen Z belajar dengan cara yang lebih personal dan adaptif, sesuai dengan kebutuhan dan gaya belajar mereka.

AI membawa dampak signifikan pada berbagai aspek kehidupan Gen Z. Mereka dapat dengan mudah mencari jawaban atas pertanyaan mereka dan mengakses sumber daya pendidikan dari mana saja, kapan saja, dan tanpa terikat ruang dan waktu. Kehadiran AI semakin mempermudah proses ini, membuat mereka lebih efisien dalam mencari informasi dan belajar. Gen Z juga terlibat dalam diskusi tentang etika dan penggunaan yang bertanggung jawab dari AI. Mereka sangat sadar akan isu-isu privasi dan bias dalam AI. Menurut Wired, mereka kritis terhadap cara data pribadi digunakan dan menuntut transparansi serta perlindungan data dari perusahaan teknologi. Mereka juga memperhatikan bagaimana bias dalam algoritma AI dapat mempengaruhi keputusan dan mendorong pengembangan AI yang lebih adil dan inklusif. Google menemukan bahwa 35 persen Gen Z memanfaatkan AI untuk edit foto dan video via smartphone, menjadikan pekerjaan ini sebagai yang paling banyak mendapatkan bantuan AI. Selain itu, 29 persen Gen Z menggunakan AI untuk menyelesaikan pekerjaan seperti menerjemahkan dan menyortir data. Aktivitas ini menunjukkan bahwa Gen Z tidak hanya menggunakan AI untuk belajar, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas hidup sehari-hari. Gen Z tidak hanya sebagai pengguna AI, tetapi juga berperan aktif dalam pengembangan teknologi ini. Mereka mendukung regulasi yang memastikan AI digunakan untuk kebaikan dan tidak merugikan masyarakat. Banyak dari mereka yang terlibat dalam inisiatif yang mendorong pengembangan dan penerapan AI yang etis.

Tetapi seberapa bahaya AI bagi Gen Z terutama pelajar? Penggunaan AI dalam proses belajar dapat membuat pelajar tergantung pada teknologi. Hal ini dapat mengurangi kemampuan berpikir kritis dan kreatif karena pelajar lebih sering menggunakan AI untuk mencari jawaban daripada memahami konsep secara mendalam. Ketergantungan ini juga dapat membuat pelajar sulit beradaptasi ketika tidak memiliki akses ke teknologi. Pemanfaatan AI untuk menghasilkan karya atau jawaban palsu dapat membuka pintu lebar-lebar bagi penipuan akademis. Siswa yang menggunakan solusi AI untuk mengerjakan tugas atau ujian mungkin tidak mengembangkan keterampilan sebenarnya dan merugikan proses pendidikan. Hal ini dapat menurunkan integritas pendidikan dan membuat nilai-nilai akademis menjadi tidak berarti. Kurangnya edukasi dan etika dalam penggunaan AI dapat menjadi pemicu utama dari penyalahgunaan AI di sektor pendidikan. Banyak orang tidak memahami bagaimana menggunakan AI dengan benar, sehingga mereka menggunakan teknologi ini untuk tujuan yang tidak tepat. Kurangnya etika juga dapat membuat pihak-pihak tertentu mengabaikan prinsip-prinsip yang seharusnya diikuti dalam penggunaan AI.

Lalu, bagaimana solusi agar AI dapat menjadi kawan dan bukan lawan bagi Gen Z? Gen Z perlu dibekali dengan literasi digital yang memadai agar mereka mampu menggunakan AI dengan bijak. Ini termasuk memahami etika penggunaan AI, mengenali potensi bias dan ketidaktepatan AI, serta mengasah keterampilan kritis dan analitis. AI seharusnya diposisikan sebagai mitra yang melengkapi kemampuan manusia, bukan sebagai pengganti. Dengan demikian, Gen Z dapat menggunakan AI untuk mendapatkan penjelasan ringkas, merangkum materi belajar, dan menerjemahkan teks ke berbagai bahasa, tetapi tetap mempertahankan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Pendidikan etika dan keseimbangan harus diberikan untuk menghindari ketergantungan berlebihan pada AI. Hal ini termasuk memahami dampak sosial, keadilan, privasi, dan keamanan yang terkait dengan penggunaan AI. Metode penilaian perlu lebih mengutamakan proses dan analisis, bukan hanya hasil akhir. Dengan demikian, siswa dapat menunjukkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, serta tidak hanya bergantung pada hasil "contekan" dari AI. Dengan menerapkan solusi-solusi ini, Gen Z terutama pelajar dapat memanfaatkan AI secara efektif dan bijak, sehingga AI dapat menjadi kawan yang membantu mereka mencapai potensi terbaiknya. Mari ciptakan generasi yang melek teknologi dan berkarakter di era digital ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline