Tembok Dukuh, Surabaya. Di sebuah komplek pemakaman, terselip sebuah makam di antara makam lainnya. Berkeramik merah kusam nan agak terabaikan.
Siapa kira, makam merah kusam yang agak terabaikan itu menjadi tunggal "milik" pria bernama Soedjarwoto Soemarsono, atau yang lebih mafhum dikenal sebagai Gombloh.
Cak Gombloh, sapaan khas Jawa Timur-an, adalah Arek Jombang, legenda musik Indonesia yang nyaris tak akan tergerus kelincahan zaman.
Kejeliannya dalam menjumput celah tema, tak ada duanya. Kelihaiannya merakit lirik dan nada yang nyeleneh dan tak kosong nilai-lah yang membuatnya mencuat menjadi musisi top-rated di era 80-an.
Cak Gombloh, musisi balada sejati, simbol ekspresi kepengapan kaum kelas bawah yang kerap dipandang sebelah mata.
Musisi berbadan kurus yang selalu bergaya nyentrik itu tak sekadar fakultatif menghadirkan nomor-nomornya pada alam dan sosial. Cak Gombloh juga mengantarkan penikmatnya menuju titik kesejatian Indonesia.
Di sisi lainnya, Cak Gombloh tak pula kalah romantisnya kala mendendangkan nomor-nomor bernapas cinta. Ia adalah sesungguh-sungguhnya musisi universitas.
Bisa jadi, Cak Gombloh ditakdirkan dilewati sekian lintas generasi. Namun, gores karyanya tetap dicintai, tetap dipelihara dalam hati, abadi.
Tidak ada untaian lirik Cak Gombloh yang tak mengajak penikmatnya agar menyempatkan masa tuk merundukkan hati, muhasabah diri. Tidak ada kata-kata yang tertuang dalam nada Cak Gombloh yang tak mengayuh kepada puncak dimensi permenungan.
Penulis yakin, ketika kita mendengar "Indonesia, merah darahku, putih tulangku, bersatu dalam semangatmu, Indonesia...," banyak di antara kita yang mengira, generasi milenial khususnya, bahwa itu adalah lagu perjuangan. Seangkatan "Maju Tak Gentar", "Syukur", "Indonesia Pusaka", misalnya.
Nyatanya, acap di antara yang terlambat menyadari jika potongan lirik itu ialah garapan emas seorang musisi yang unik sama sekali. Begitulah Cak Gombloh, lagu-lagunya tak akan pernah mampu ditaklukkan zaman.