A.Gender Dan Pendidikan Islam
1.Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan memiliki beragam makna dalam berbagai bahasa dan budaya. Dalam bahasa Yunani, istilah "paedagogie" berasal dari kata pais yang berarti "anak" dan again yang berarti "membimbing". Dengan demikian, paedagogie merujuk pada bimbingan yang diberikan kepada anak-anak. Dalam literatur lain, pendidikan di Yunani sering digambarkan sebagai seorang anak yang pergi ke sekolah diantar dan dijemput oleh seorang pelayan, yang disebut paedagogar.
Dalam bahasa Romawi, istilah pendidikan dikenal dengan kata educate, yang berarti "mengeluarkan sesuatu dari dalam". Sedangkan dalam bahasa Inggris, istilah pendidikan berasal dari kata to educate, yang dapat diartikan sebagai memperbaiki moral serta melatih kemampuan intelektual .
Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendidikan berasal dari kata dasar "didik" yang bermakna memelihara dan memberi latihan, baik dalam bentuk ajaran, bimbingan moral, maupun pengembangan kecerdasan pikiran.
Pendidikan adalah proses yang bertujuan untuk mengubah sikap dan perilaku individu atau kelompok agar lebih dewasa melalui pengajaran, pelatihan, dan pembinaan. Proses ini mencakup cara memperluas wawasan serta mendidik seseorang.
Pengajaran dan pendidikan memiliki sedikit perbedaan
2.Pengertian Gender
Istilah gender tidak hanya merujuk pada perempuan, tetapi juga mencakup laki-laki. Namun, karena perempuan sering dianggap berada dalam posisi yang terpinggirkan, pembahasan mengenai gender lebih banyak menyoroti perjuangan perempuan untuk mencapai kesetaraan dengan laki-laki. Hal ini terutama terlihat dalam peran sosial, termasuk bidang pendidikan, yang diharapkan mampu mendorong perubahan cara berpikir, bertindak, dan berperan dalam kehidupan sosial.
Menurut Lips, gender diartikan sebagai cultural, yaitu harapan-harapan budaya yang berlaku terhadap laki-laki dan perempuan.
Istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller untuk membedakan antara karakteristik manusia yang berasal dari faktor sosial dan budaya dengan karakteristik yang berasal dari ciri-ciri biologis. Dalam ilmu sosial, Ann Oakley turut berjasa mengembangkan konsep gender dan mendefinisikannya sebagai hasil konstruksi sosial, yaitu atribut yang dibentuk oleh budaya manusia.
Gender bukanlah perbedaan yang didasarkan pada kodrat atau sifat biologis, melainkan hasil dari proses panjang interaksi sosial dan budaya. Perbedaan perilaku antara pria dan wanita sebagian besar dipengaruhi oleh lingkungan sosial, bukan hanya faktor biologis. Oleh karena itu, konsep gender dapat berubah sesuai tempat, waktu, atau kondisi sosial ekonomi.
Secara sederhana, gender adalah peran atau ciri yang menunjukkan seseorang sebagai maskulin atau feminin berdasarkan pengaruh budaya dan norma sosial.
Secara umum, gender mengacu pada perbedaan yang terlihat antara laki-laki dan perempuan dalam hal nilai, sikap, dan perilaku yang terbentuk secara sosial. Gender adalah istilah yang menggambarkan perbedaan peran dan atribut yang ditentukan oleh budaya, bukan oleh perbedaan biologis.
Lebih jauh, gender mencerminkan hubungan sosial yang membedakan peran serta fungsi laki-laki dan perempuan dalam kehidupan. Perbedaan ini tidak berasal dari kodrat, tetapi dari posisi, fungsi, dan tanggung jawab yang diberikan oleh masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pembangunan.
Sebagai konsep, gender merupakan hasil pemikiran manusia yang dipengaruhi oleh budaya, adat istiadat, agama, dan nilai-nilai suatu kelompok masyarakat. Oleh karena itu, gender bersifat dinamis, dapat berubah sesuai dengan perkembangan sejarah, perubahan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Gender tidak bersifat universal, melainkan bergantung pada situasi dan kondisi masyarakat yang membentuknya.
B.Problematika Gender Dalam Pendidikan Islam
Dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) pada pasal 26 disebutkan bahwa: "Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Pendidikan harus diberikan secara gratis, setidaknya pada tingkat sekolah dasar dan pendidikan dasar. Pendidikan harus dapat meningkatkan pemahaman, saling menghargai, serta persahabatan antara semua bangsa, kelompok, dan kebangsaan, serta mendukung upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam menjaga perdamaian dunia."
Sehubungan dengan deklarasi tersebut, apabila pendidikan tidak hanya dipandang sebagai elemen penting dalam upaya mencerdaskan bangsa, tetapi juga sebagai hasil atau konstruksi sosial, maka pendidikan turut berperan dalam membentuk hubungan gender di masyarakat.
Pernyataan di atas muncul setelah teridentifikasi banyak ketimpangan gender di masyarakat yang diduga disebabkan oleh adanya bias gender dalam pendidikan. Bias gender ini terlihat dalam perumusan kurikulum dan rendahnya kualitas pendidikan. Implementasi kurikulum tercermin dalam buku ajar yang digunakan di sekolah-sekolah. Faktanya, dalam kurikulum pendidikan baik untuk mata pelajaran agama maupun umum masih terdapat banyak materi yang menggambarkan laki-laki lebih sering berada di sektor publik, sementara perempuan lebih sering digambarkan berada di sektor domestik. Dengan kata lain, buku ajar yang digunakan di sekolah belum sepenuhnya bersifat netral gender, baik dari segi gambar maupun bahasa yang digunakan dalam menjelaskan materi.
Rendahnya kualitas pendidikan disebabkan oleh adanya diskriminasi gender di dunia pendidikan. Departemen Pendidikan Nasional mencatat empat aspek penting terkait masalah gender dalam pendidikan, yaitu akses, partisipasi, proses pembelajaran, dan penguasaan. Aspek akses berkaitan dengan kesulitan dalam mendapatkan fasilitas pendidikan. Misalnya, meskipun banyak sekolah dasar di setiap kecamatan, jumlah sekolah menengah seperti SMP dan SMA masih terbatas. Banyak wilayah yang tidak memiliki sekolah tingkat SMP atau SMA, sehingga siswa harus menempuh jarak jauh untuk mencapainya. Di daerah yang masih kental dengan tradisi, orang tua seringkali enggan mengirimkan anak perempuan mereka ke sekolah yang jauh karena khawatir akan keselamatan mereka. Akibatnya, banyak anak perempuan yang terpaksa tinggal di rumah. Belum lagi, banyak tugas rumah tangga yang dibebankan pada anak perempuan, membuat mereka kesulitan untuk melanjutkan pendidikan. Semua faktor ini berkontribusi pada terbatasnya kesempatan pendidikan bagi perempuan.
C.Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan Islam
Pendidikan adalah upaya yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan perencanaan untuk menciptakan suasana belajar yang mendukung proses pembelajaran, sehingga peserta didik dapat mengembangkan berbagai potensi dirinya. Hal ini mencakup kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak yang baik, dan keterampilan yang bermanfaat untuk dirinya sendiri, masyarakat, bangsa, dan negara. Dengan demikian, pendidikan memegang peranan penting dalam mengubah pola-pola tradisional menjadi pola yang lebih modern dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, sangat penting untuk terus meningkatkan kualitas pembelajaran di setiap jenis dan jenjang pendidikan.
Upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di semua jenis dan jenjang pendidikan dapat berhasil dengan baik jika proses pembelajaran berlangsung dalam lingkungan kelas yang mendukung dan dipandu oleh guru yang profesional. Melalui pendidikan, diharapkan dapat tercipta individu-individu berkualitas yang mampu berkontribusi pada kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Guru memainkan peran penting dalam membantu siswa mencapai hal tersebut dengan menyelenggarakan kegiatan belajar yang efektif, karena proses pembelajaran yang baik akan menghasilkan pencapaian yang maksimal. Sebagai pengelola pembelajaran di kelas, guru memiliki tanggung jawab terhadap pendidikan siswa, baik secara individu maupun kelompok, di sekolah maupun di luar sekolah. Oleh karena itu, seorang guru perlu memiliki kompetensi dasar yang memadai untuk melaksanakan tugas dengan baik.
Keadilan dan kesetaraan adalah prinsip dasar yang menjadi tujuan utama dalam peradaban manusia untuk mencapai kesejahteraan, membangun keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, serta menciptakan keluarga yang berkualitas. Perempuan yang jumlahnya hampir setengah dari total penduduk Indonesia memiliki potensi besar untuk mencapai kemajuan dan meningkatkan kualitas kehidupan. Setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, berhak mendapatkan kesempatan dan hak yang sama untuk berpartisipasi dalam berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, hukum, sosial budaya, pendidikan, serta keamanan nasional, dan menikmati hasil pembangunan. Dalam Undang-Undang Dasar 1945, Bab X tentang warga negara, pasal 27 ayat (1) menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan, serta wajib menghormati hukum tersebut tanpa adanya diskriminasi, termasuk perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Prinsip kesetaraan gender sudah diakui sejak tahun 1945, yang tercermin dalam ketentuan konstitusi yang tidak membedakan jenis kelamin dalam pengakuan terhadap warga negara dan penduduk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H