TAKUT. Takut suara terkecil. Kegiatan pemilu yang mencemaskan calon-calon pemimpin mengakibatkan mereka melakukan tindakan curang yaitu suap-menyuap kepada pemilih. Suap-menyuap, kata tersebut itu tidak asing lagi di telinga kita. Uang akan menjadi segalanya demi mendapatkan suatu kedudukan.
Pada saat pemilu banyak orang-orang yang mencalonkan dirinya untuk mendapatkan posisi yang diinginkan. Banyaknya cara telah dilakukan agar dapat terwujud. Mulai dari diadakan kampanye di desa-desa terpencil, menyantuni masyarakat kecil, membagikan sembako, dan sebagainya. Cara-cara tersebut dilakukan karena ada maksud tertentu yang hanya ingin mereka dapatkan untuk kepuasan sendiri. Siapa saja yang memiliki uang yang banyak pasti akan melakukan apa pun itu, tetapi hasil terbaik akan didapat oleh orang yang baik.
Kegiatan pemilu adalah wujud nyata implementasi dari demokrasi. Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang memberikan hak, kebebasan kepada warganya untuk berpendapat, serta turut dalam pengambilan keputusan di pemerintahan.
Kegiatan pemilu yang hanya dilaksanakan setiap 5 tahun sekali harus dimanfaatkan untuk menggunakan hak suaranya agar hak yang dimilikinya dapat berfungsi dengan benar.
Oleh karena itu, adanya pemilu di negara Indonesia harus dapat menciptakan suatu perubahan untuk menentukan pemimpin di masa yang akan datang sehingga negara Indonesia menjadi negara yang berpegang teguh terhadap sistem demokrasi dan akan menjadi negara maju.
Kita semua tentu masih ingat pada tahun 2020 tentang kasus yang menjerat Wahyu Setiawan yang telah diinformasikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait penerimaan suap uang.
Sosok Wahyu Setiawan sendiri adalah Komisioner KPU. Kasus ini diduga karena Wahyu Setiawan ingin membantu Harun Masiku sosok calon legislatif PDIP di Dapil Sumatera Selatan 1 untuk menjadi anggota DPR legislatif dari mekanisme Penggantian Antarwaktu (PAW).
Harun Masiku telah memberikan uang sebesar 600 juta dari permintaan 900 juta kepada Wahyu Setiawan (Rozie, 2020:1). Ternyata KPU tidak hanya menetapkan Wahyu Setiawan saja sebagai tersangka, masih ada 3 orang lainnya termasuk calon legislatif yang memberikan suap uang. Dari 3 orang tersangka lainnya, yaitu Agustiani Tio Fridelina mantan anggota dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Harun Masiku sebagai seorang yang memberikan uang, dan Saeful Bahri sebagai seorang pegawai swasta.
Melihat kasus tersebut, Wahyu Setiawan dan Agustina Tio Fridelina terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1.
Dari pelanggaran tersebut mereka dijatuhkan hukuman pidana oleh Mahkamah Agung 7 tahun penjara. Selain itu, mendapat hukuman denda sebesar 200 juta subsider per 6 bulan penjara. Berbeda dengan Harun Masiku dan Saeful Bahri yang terbukti melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Akhirnya, Harun Masiku tidak berhasil menjadi anggota DPR karena mendapatkan suara yang lebih rendah. Pada saat itu ada salah satu calon DPR yang bernama Riezky Aprilia, dia mendapatkan suara paling banyak daripada Harun Masiku sehingga ditetapkannya Riezky Aprilia menjadi anggota DPR legislatif periode 2019-2024 untuk menggantikan kedudukan Nazarudin Kiemas karena meninggal dunia (Nugraheny, 2020:1). Selanjutnya, Harun serta rekan-rekannya yang telah terbukti bersalah akan ditangkap dan diberi hukuman sesuai pasal yang dilanggar.