Saat saya menghadiri diskusi Forum Mahasiswa di radio RRI Pro-2 Bandung 96FM tanggal 8 Agustus 2016 dengan tema Menangkal Radikalisme, saya cukup tertarik dengan perkataan Pengamat Terorisme dari Unpad yang juga hadir saat itu. Beliau mengatakan kalau mahasiswa adalah yang paling rentan terkena paham radikal, kenapa? Karena orang-orang radikal itu menuntut perubahan dan dengan bantuan tangan mahasiswa perubahan itu akan lebih cepat terjadi. Menarik saya memang, kenapa? Karena pengamat itu masih percaya kalau mahasiswa berperan sebagai agen perubahan sedangkan saya tidak melihat seperti itu. Walau akhirnya saya melihat secercah harapan kalau mahasiswa akan kembali mengambil perannya sebagai agent of change ditengah-tengah mandulnya mahasiswa saat ini yang mayoritas dari mereka tunduk pada kenikmatan-kenikmatan sementara yang memanjakan syahwat mereka, juga mengabaikan serta melupakan kerusakan-kerusakan di sekitar mereka karena mabuk ambisi, tugas, dan IPK.
Berbicara tentang kondisi pemuda/mahasiswa sekarang saya teringat dengan awkarin seorang selebgram yang kehidupannya begitu hedon dan menarik hati para pemuda untuk mengikuti gaya hidupnya itu. Teringat juga saya dengan sinetron ‘si Boy Anak Jalanan’ yang dimana hati saya cukup sedih ketika di perpustakaan kota saya melihat anak kecil sedang streaming sinetron merusak tersebut, lalu saya ingat pembunuhan dosen, bunuh diri mahasiswa, juga pergaulan bebas. Juga saya ingat betapa apatis dan pragmatisnya NKK/BKK. Sungguh sebuah pengebirian peran mahasiswa yang sistematis.
Tidak dapat dipungkiri apatisme, hedonisme, dan pragmatisme mahasiswa menjadi keluhan para aktivis mahasiswa yang terasing keberadaannya satu dekade terakhir ini. Bagaimana tidak? Golobalisasi bena-benar menyilaukan mata-mata mahasiswa yang sedang naik semangatnya. Semangat untuk main-main, semangat untuk hura-hura, semangat untuk gaya-gaya, dan semangat untuk tidur bersama. Terlebih lagi dengan adanya media sosial semua itu menjadi semakin mengakar dan menginternalisasi jiwa para mahasiswa. Dan bagaimana brutalnya para dosen memberikan tugas kepada mahasiswa. Serta doktrin masyarakat dan keluarga yang mengharuskan anaknya sukses dengan fokus belajar agar bekerja di perusahaan ideal untuk menjadi budak para kapitalis. Sungguh sebuah konspirasi wahyudi dan mamarika.
Namun, segelap apapun pasti akan ada setitik cahaya. Dengan kondisi realitas tersebut yang membuat makin banyak mahasiswa tergerus idealismenya masih banyak mahasiswa yang ternyata semakin idealis. Realitas tidak akan pernah menipu mereka. Idealisme adalah sesuatu yang mewah dalam diri mereka yang membuat mereka terhormat sepanjang masa walau mereka sudah tiada. Bagaimana tidak? Diskusi saya di radio tersebut merupakan salah satu bukti kebangkitan mahasiswa, kenapa? Karena yang dituduh radikal sejatinya adalah mereka yang kritis terhadap pemerintah kapitalis. Para tertuduh radikal yang terhormat itu membawa dan mengkampanyekan suatu ideologi yaitu ideologi Islam yang akan mengganti sistem kehidupan sekarang yang rusak dan zalim yaitu sistem kehidupan demokrasi-kapitalisme dengan sistem kehidupan Islam yang merupakan rahmat bagi semesta alam.
Sayangnya radikal diartikan negatif oleh banyak orang karena framing media yang menujukan radikal pada tindakan kekerasan dan terorisme. Radikal sejatinya adalah mengakar atau mendasar. Radikal adalah sesuatu yang netral, bisa radikal dalam kebaikan atau sebaliknya radikal dalam kejahatan. Namun karena dibuat kabur oleh media dan pemerintah, semua yang radikal dimaknai negatif. Sungguh bila mahasiswa tetap apatis, pragmatis, dan hedonis dalam menganggapi semua itu maka hidup mereka hanya akan sekedar kuliah, kerja, nikah, dan mampus. Naudzubillah.
ditulis oleh : Rifan Abdul Azis - Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H