Lihat ke Halaman Asli

Kafe Bebek

Diperbarui: 24 Oktober 2019   12:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi : pixabay

Ya, ya. Sekarang saya bekerja menjadi manager di sebuah kafe mentereng di kota ini. Namanya  "Kafe Dursun". Tapi tak pentinglah arti sebuah nama. Kau tak perlu risau menerjemahkan makna di balik itu. Toh tak semua nama harus memiliki arti! Kau hanya harus risau ketika mengetahui titel saya; SKM. Kau bilang Sarjana Kopi Manis. Hahaha, kau bisa saja benar. Tapi kali ini kau melenceng jauh. Kepanjangan titel itu adalah Sarjana Kesehatan Masyarakat. Nah, bingung, kan? Apakah saya harus menerapkan disiplin ilmu saya di sini? Jelas tidak boleh. Saya harus berprinsip bahwa usaha kafe ini harus maju pesat. Penjualan cairan kopi meningkat dari hari ke hari. Itu komitmen saya kepada bos Kafe Dursun.

Bisa saja kalau diterapkan disiplin ilmu saya, maka setiap pengunjung tak boleh minum lebih dua cangkir kopi setap hari. Bukankah ini menjadi penurunan omzet? Sesuai prinsip perkafean,  maka alangkah mujurnya seorang pemilik kafe, bila penggila kopi  memesan kopi paling tidak satu galon per hari. Tidak peduli apakah kopi itu diminum atau hanya untuk cuci muka penghilang ngantuk. Yang penting; hepeng do namangatur negaraon.

Saya juga tak boleh menanyakan apakah seseorang itu sehat saat minum kopi. Atau dia seorang pengidap darah tinggi. Kafe baginya adaah restricted area. Dia lebih cocok minum jus melon, misalnya. Jus melon dengan gula  jagung, agar darah tinggi tidak mengajak temannya si diabet. Kopi juga akan menghambat nafsu tidur. Sementara pantangan berat bagi pengidap darah tinggi adalah tidur kurang dari delapan jam per hari. Dengan kopi tidur bisa kurang dari tujuh jam atau di bawah lima jam per harinya.

Tapi sekali lagi, meski saya adalah sosok the wrong man in the wrong place, tapi kalau dompet tebal tidak masalah. Bekerja di kafe itu menyehatkan. Terutama menyehatkan dompet. Selebihnya menyehatkan mata karena begitu banyak pelanggan perempuan yang bening-bening berseliweran. Termasuk Mince, perempuan berleher tinggi seperti jerapah, yang sekarang sedang menikmati secangkir thai green tea chatramue. Bibir saja belibet mengucapkannya. Apalagi rasanya, mungkin lebih belibet dari itu. Hanya saja jangan pernah mengatakan wajah Mince belibet. Sekarang saya sedang melakukan penjajagan. Semoga saya bisa menumbuhkan cinta di hatinya, yang semoga juga belum berlumut.

"Suka berkunjung ya ke kafe ini." Saya berbasa-basi dengan mulut basi karena kebanyakan makan kabau tadi pagi.

Mince menaikkan kakinya ke atas kursi. Saya jelalatan melihat sekeliling. Mince ini tak tau aturan. Memesan teh di tempat berjualan kopi. Tapi ini kesalahan bos saya, orangnya sedikit, yah, rakus. Tapi bukankah mengangkat kaki ke kursi itu tradisi kedai kopi? Mince ada-ada saja. Terkadang membuat malu, tapi saya cinta atas kesederhanaanya.

"Kamu cantik."

Dia menatap saya. "Cantik itu sebangsa makanan?"

"Sebangsa kamu."

"Ya, bolehlah."

"Bolehkah saya bilang..." suara saya tercekat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline