Lihat ke Halaman Asli

Opa Dilarang Patah Hati

Diperbarui: 17 Oktober 2019   07:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi : pixabay

Angin senja berembus lembut. Aroma rumput menambah lapang dada ini. Anak-anak berlarian mengejar layang-layang putus. Sebagian lagi disibukkan bola yang liar dari kaki ke kaki.Burung merpati berkejaran di antara dahan akasia. Mungkin mereka sedang kawin, atau sekadar bercanda menyanjung senja yang ramah. 

Entahlah! Yang penting  saya turut merasakan senja yang ramah ini. Saya sungguh ingin meletakkannya di dada terdalamPerempuan itu duduk di atas beton bulat mirip tunggul kayu. Dia tengah asyik menghamburkan remah-remah. Burung merpati turun ke atas tanah. Kegirangan melihat makanan berlimpah-ruah.

Saya ingat beberapa hari lalu, kali pertama bertemu perempuan itu di tempat ini. Siapa ya namanya? Suratmi, Suryani, atau Suratih? Ah, saya memang semakin sering lupa belakangan ini.

Oh ya, baru saya ingat. Namanya singkat, Suwarni. Lebih singkat lagi, Warni. Waktu itu saya duduk di tempat sama dia duduk sekarang ini.

Saya mengantongi remah-remah roti untuk para merpati. Mereka langsung berebut begitu remah-remah itu saya hamburkan ke atas tanah. Beberapa merpati cukup berani, atau mungkin saja nakal, mencuri remah-remah itu langsung dari tangan saya.

"Di sini banyak merpati, ya?" Seseorang berbicara di belakang saya.

"Ya, saya sering ke sini tiap senja, hanya ingin melihat gairah merpati berebut makanan." Saya berbalik arah. Ternyata dia seorang perempuan imut, menurut saya perempuan cantik, yang masih mengenakan seragam SMU. Saya kembali duduk, lalu menyuruhnya duduk di sebelah saya.

Tanpa saya minta---mungkin tak enak melihat tatapan saya yang menyelidik---dia mengatakan ada ekstra kurikuler di sekolah, yang menyebabkan dia pulang senja. Guru latihan basket terlambat datang tanpa alasan.

Saya hanya mengumam, lalu tertawa saat dia tiba-tiba merampas remah-remah roti itu. Dia menaburkannya di atas tanah. Burung merpati sangat berbahagia, saling berebut makanan.

Dia memperkenalkan diri bernama Suwarni. Tapi lebih sering dipanggil Warni.  Saya membalas bahwa saya bernama Prambodo. Saya senang dipanggil Pram, namun benci dipanggil Bodo. Karena kau pasti tahu apa artinya, kan?

Warni terpingkal mendengar candaan saya yang cukup garing. Agar sama-sama enak, dia putuskan  memanggil saya oppa. Apakah itu tak keterlaluan?
Seharusnya dia memanggil saya om. Ah, itu terlalu tua, saya tak mungkin suka. Atau dipanggil mang? Saya tentu lebih tak suka. Memangnya saya mamang becak? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline