Lihat ke Halaman Asli

Kebun Nyai Imah

Diperbarui: 10 Oktober 2019   16:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi : pixabay

Bandit-bandit kecil ini selalu menyerbu kebun rambutan Nyai Imah begitu musimnya tiba.  Aku salah seorang di antara mereka. Kami seakan menemukan istana berupa rambutan terenak sekampung Narek.

Akan ada tawa lepas manakala kami ketahuan maling. Nyai Imah mengamuk bak banteng luka. Rambutnya menyala api. Galah panjang dia arahkan ke  kami. Sekumpulan bandit ini menghambur. Kami berlarian centang-prenang pulang ke rumah masing-masing.

Saat senja tiba, kami kembali berkumpul di lapangan desa. Berpesta pora makan rambutan. Tak jarang ada orang tua memergoki. Mereka yakin betul rambutan yang kami makan hasil curian.

Hukuman berat pun tiba. Makan rambutan dengan kulitnya. Duilah pahitnya! Kami sampai termuntah-muntah. Besok harinya kami pasti memindahkan lokasi pesta ke tempat yang lebih tersembunyi.

Seiring waktu berlalu, bandit-bandit kecil ini pun hilang dari kampung Narek. Bandit-bandit kecil lain menggantikan tugas kami. Tapi bandit-bandit kecil itu pun hilang ditelan televisi. Tinggal aku  yang sering mengunjungi Nyai Imah.

Selain memiliki kebun rambutan tak seberapa, dia juga sering mendapat upahan memasak air nira menjadi aren. Entah kenapa aku mulai senang melihatnya mengaduk gelegak air nira itu, hingga berujung letupan-letupan kecil. Katanya itu gula aren setengah masak.

Maka dia menceduk sedikit, lalu menimpanya ke tumpukan tepung. Rasanya lumayan nikmat. Mengalahkan rasa permen di warung Kek Ali.

Aku juga  mulai sering membantu mengambil rambutan. Menjual  ke pasar kalangan. Lumayan laku. Rambutan gula batu, teriakku kepada pembeli. Sebentar saja bakul berisi rambutan itu ludes. Nyai Imah memberiku upah. Jadilah kujadikan biaya sekolah. Sisanya untuk jajan.

Karena sering bertandang ke rumahnya, aku tahu kisah hidup perempuan itu.  Kakeknya dulu pejuang. Dia masih menyimpan tombak pejuang itu. Ayah-ibunya pedagang lumayan kaya di zamannya. Kebanyakan harta mereka berupa sawah.

Saat Nyai Imah dewasa, orangtuanya meninggal dunia karena kecelakan mobil. Praktis Nyai Imah-lah satu-satunya pewaris harta orang tuanya. Karena tak sanggup mengelola harta itu, sebagian pun dijual. Sekrarang dia sendirian di rumah besar, juga setengah hektar kebun rambutan.

"Nenek masih marah kepadaku?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline