Telah berjejalan di telinga ini, bagaimana guru-guru agama sejak aku esde, tak puas-puasnya memberikan wejangan bagaimana harus bersikap kepada kedua orangtua. Bahwa tak boleh membantah mereka, walaupun hanya mengucapkan kata "ah". Itu tanda-tanda orang yang durhaka. Namun seperti yang kukatakan sebelumnya, bahwa wejangan itu berjejalan di telinga ini, maka kata berjejalan itu adalah konotasi ketaksukaan. Jadi, jangan heran aku paling sering melawan kedua orangua, apalagi hanya melontarkan kata "ah".
Aku adalah anak tengah dari tiga bersaudara. Meskipun anak tengah, aku toh merasa paling berkuasa, sekaligus manja. Ibu sejak lama mengidam-idamkan anak perempuan setelah ibu melahirkan abang. Hal tersebut karena seluruh saudara kandung ibu maupun ayah yang sudah menikah, semua memiliki anak laki-laki.
Saat aku terlahir ke dunia ini, seolah menjadi berkah yang tiada terkira bagi mereka. Semua kebutuhanku selalu dipenuhi ayah-ibu. Entah karena merasa dipenuhi terus, aku menjadi sok kuasa dan manja. Pernah ketika abang sedang membutuhkan sepeda, tersebab sekolahnya jauh dari rumah, aku malahan menuntut kalau akulah yang berhak mendapatkan sepeda. Sempat juga aku bertengkar dengan abang. Karena orangtua sangat menyayangiku, mereka akhirnya memutuskan membeli sepeda untukku. Abang kecewa dan tak menegurku selama dua hari.
Begitu duduk di bangku SMA, seorang adik ibu pernah memarahiku. Penyebabnya aku mencak-mencak kepada ibu akibat dia tak megijinkanku jalan-jalan bersama Igo (nama samaran lelaki yang pernah memacariku) di malam minggu yang mendung. Sempat juga aku melihat ibu menangis. Tapi percuma saja, aku tak merasa mengasihaninya.
Mungkin disebabkan umurku semakin dewasa, setamat SMA aku mencoba lebih memahami ayah-ibu. Aku tak ingin selalu melawan mereka. Hanya saja, entah kenapa aku merasa mereka selalu lebih cerewet dari waktu ke waktu. Aku merasa sudah besar dan bisa menjaga diri. Namun mereka seakan menganggapku masih anak kecil.
Suatu kali aku ada acara jalan-jalan ke tempat pariwisata di kota L, ayah-ibu malahan menyuruh abang menemaniku. Jadilah kurasakan acara jalan-jalan itu sangat menjemukan. Setiba di rumah aku membanting pintu dan menceracau seperti orang mabok. Aku merasa teman-teman sekampus menganggapku si anak manja. Bagaimana tidak, sudah segede bangkong masih harus dikawal seorang abang.
Mungkin kesal melihat tingkahku yang tak mau berubah, abang menasihatiku. Aku hanya diam saja. Dalam hati aku menyesal selalu bersikap kasar kepada kedua orangtua. Sayangnya sesalku hanya sesal seperti makan cabe. Ketika pedasnya hilang, aku melahapnya lagi.
Ayah-ibu hanya bisa mengelus dada menerima perlakuanku. Ketika abang, juga adik sering menegur, bahkan memarahiku, kedua orangtua malahan membelaku. Mungkin itulah yang membuatku semakin besar kepala. Hingga setamat kuliah, kemudian bekerja di sebuah perusahaan swasta, aku tak lepas dari tabiat durhaka itu.
Di masa-masa kerja, aku bertemu dengan Ishak (nama samaran). Berhubung hampir tiga tahun menjomblo setelah putus dengan Igo, kami menjadi sahabat dekat. Di tahun pertama persahabatan kami, rasa cinta semakin menghebat. Kami pun seide untuk menikah dalam waktu dekat.
Ya, namanya tabiatku yang durhaka terhadap orangtua, sekali-dua terjadi juga di depan mata Ishak. Dia berang melihatku. Namun dia berusaha untuk tak sampai mencak-mencak. Dia hanya mengajakku berbincang lebih serius. Bahwa menurutnya perbuatanku sudah kelewat batas. Bahwa aku sama sekali tak menghargai orang yang melahirkan dan membesarkanku dengan susah-payah. Padahal mereka sangat menyayangiku. Apa yang mereka ucapkan berupa larangan-larangan ataupun nasihat-nasihat, adalah demi kebaikanku semata.
"Bila kamu masih melakukan perbuatan itu, mungkin kita bukanlah pasangan yang cocok." Suatu kali dia berucap cukup pedas kepadaku.