Dunia kanak- kanak selalu tak terlupakan. Apalagi bagi kami yang tinggal di puncak bukit, negeri di atas awan. Pada siang yang cerah, terlihat awan berarak di bawah sana. Tapi, selagi masih pagi, kami sama sekali tak melihatnya. Kabut setia menyungkup desa kecil ini hingga pukul sepuluh.
Oya. Perkenalkan, namaku Helena. Temanku , Panjul, Cipluk, dan si kembar Aldi-Aldo. Aku bangga menjadi perempuan tercantik di antara mereka. Kau tahu kenapa? Ya, karena aku satu-satunya perempuan.
Di desa ini ada sungai kecil yang membelah punggung bukit. Lebarnya dua setengah meter. Airnya bening benar, turun dari sekumpulan kayu tua. Kami belum pernah melihat sekumpulan kayu tua itu. Tempatnya jauh di puncak bukit paling tinggi. Di antara jalinan pohon yang merapat. Konon baru dua orang yang pernah ke sana. Kata mereka tempat itu menyeramkan.
Bang Sof membuat rakit dari dua batang pisang untuk kami. Perasaan kami seperti perompak berdayung panjang dari sebatang bambu. Kami sangat kejam. Merompak siapa saja yang berani melintas. Namun, kalau ada yang menyerang dengan torpedo, yakinlah sifat kejam kami menjelma pengecut.
Kami menghambur ke darat. Sebelum serangan torpedo berhenti, kami tak akan berani ke sungai kecil Itu. Bisa-bisa kami mati. Kami menyebut torpedo itu tuanku nan kuning. Itu artinya ada yang membuang hajat di huluan.
Satu hal yang paling kami sukai berada di sungai kecil itu, yakni saat kami bisa menciptakan pelangi. Amat mudah membuatnya. Terpenting, pastikan torpedo tak ada yang lewat. Kami akan memenuhkan air di mulut sehingga seperti ikan mas koki. Air itu kami semburkan ke arah langit. Rasanya kami sangat dekat dengan pelangi. Kami bisa memegangnya.
Kau tahu apa pekerjaan kami selanjutnya setelah berendam setengah hari, dan membuat kulit kisut bak jeruk? Tentulah perut-perut kecil ini minta diisi. Mungkin setiap anak akan habis-habisan dimarahi ibunya. Akan hal aku dikasih makan siang berlauk lezat.
Perut pun jadi sekeras pantat kuali. Mataku semakin berat. Aku memutuskan tidur di rumah pohon. Entah kawan-kawan yang lain berpetualang ke mana, aku tak tahu. Meski kami kecil, rata-rata berumur lima tahun, lasaknya minta ampun.
Ibu biasanya menahan langkahku. "Kau di mana tadi?"
"Sungai Dolok," kataku. Aku menguap lebar. Ngantuk ini semain berat.
"Kalau sampai bapak tahu, habislah kau. Kau mau kalau terlalu lama mandi, tubuhmu seperti Nek Ipah?" Aku membayangkan Nek Ipah yang sangat tua. Melihatnya saja aku seram. Dia suka merajuk bila tak dikasih bantal busuk. Bantal busuk itu adalah bantal kesayangan. Sudah lebih banyak hitamnya ketimbang warna putih. Mungkin sudah pula bertungau. "Sekarang kau mau ke mana lagi? Melalak?"