Lihat ke Halaman Asli

Suatu Kali Berpedati bersama Ayah ke Pasar

Diperbarui: 25 September 2019   17:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi : pixabay

Besok hari pekan. Tanggalnya kebetulan merah. Aku libur sekolah. Terbayang aku ikut ayah ke pasar sambil mengendarai pedati. Si Belo, kerbau penarik pedati, telah kumandikan sejak sore. Badannya kusikat dengan alang-alang. Malam ini dia terlihat gembira. Aku duduk mencangkung di depan api unggun. Memasukkan  ranting demi ranting agar api tak lenyap digerus angin. Belo harus segar dini hari nanti. Aku tak ingin dia kecapekan karena terlalu sering menghalau  nyamuk.

Kendati sedang musim hujan, nyamuk tetap setia mengunjungi kandang kerbau. Di situ selain Belo, ada Agit, Yoyot dan Tata. Keren-keren kan nama kerbauku? Terkadang sepulang sekolah, aku dan teman-teman sering menunggang para kerbau sambil mandi di sungai. Kami main pedang-pedangan. Seru sekali. Kami tak pernah membayangkan celaka ketika tergelincir dari punggung kerbau, lalu terjerembab ke  dasar sungai. Bagaimana kalau kami terinjak kerbau? Tapi kami sangat bersahabat. Kerbau tak mungkin mencelakai sahabatnya.

"Tidurlah Ito!" Ayah berteriak dari kakus di atas kolam. Kebiasaan ayah selalu buang air besar pada saat malam. Dia tahan sejam duduk mencangkung sambil menikmati asap tembakau. Ikan-ikan yang mungkin tertidur, terbangun ketika   rejeki datang. Mereka merubung  di bawah kakus. Itulah kenapa aku tak mau makan ikan yang hidup di kolam. Setiap ada kolam di kampung kami, pastiah ada kakus.  Mungkin inilah  bukti peribahasa  "sekali merengkuh dayung, dua tiga pula  terlampaui".  Sekali membuang  isi perut, selain perut lega, ikan juga kenyang. Hiii, membayangkannya saja aku geli. Belakangan, aku tidak hanya fobia makan ikan yang hidup di kolam, juga di sungai, juga di laut. Aku selalu membayangkan yang tidak-tidak tentang mereka.

"Tidurlah, Ito.  Kau kan mau ikut ke pasar? Kita akan berangkat jam dua dini hari. Biar kita santai, dan sampai di pasar masih sempat shalat shubuh berjamaah di masjid." Ayah telah berdiri di sampingku.

"Ayah tidak tidur?" tanyaku berbasa-basi.

"Ayah sudah besar. Ayah bisa melek sampai dini hari dengan secangkir kopi." Orang dewasa memang ada-ada alasannya. Memangnya kalau  sudah besar boleh tidur larut malam? Yondak, teman sepermainanku, bertubuh gemuk dan sangat besar. Dia anakyang jahil. Suka mengganggu teman. Tapi belum jam tujuh malam, ilernya saja sudah menyungai karena  tidur lelap.

Pukul satu dini hari, aku kepayahan bangun. Ketika ayah memanggil namaku, aku langung duduk karena ingat ramainya pasar. Tapi setelah suara ayah hilang, hilang pula ingatanku. Aku tak sadar tidur di atas lantai. Ayah mengguncang-guncang bahuku, lalu berkata, "Ito, kalau kau kecapekan, baiklah tak usah ikut ke pasar." Secepat kilat pula aku mandi, meski dingin seperti ratusan jarum menusuk kulit. Kata ayah, mandi dini hari itu tak akan membuatku sakit. Mandi itu akan sehat, jika dilakukan setelah jam dua belas malam hingga jam lima sore. Mandi selain jam itu, tubuhku akan renyek, kendati usiaku belum genap lima puluh tahun.

Setelah berpakain paling bagus dan menyemprotkan sedikit parfum ibu, aku menyusul ayah yang sudah duduk di atas pedati. Belo kelihatan sangat gagah. Dia baru dikasih ayah kopi telor. Kata ayah biar mata Belo terang dan tenaganya kuat.

"Percuma, Ito." Cuping hidung ayah bergerak-gerak seolah mencium sesuatu. Aku tak paham apa maksudnya percuma itu. Tapi setelah duduk di atas pedati, pahamlah aku yang dimaksud ayah. Pedati penuh karet yang masih agak basah. Berember-ember.  Baunya menyengat menenggelamkan aroma parfum ibu. Berkali-aku bersin. Ayah  menepok pelan pantat Belo. Kemudian jatuh bom yang sangat bau dari pantatnya. Ayah  tertawa. Belo mulai bergerak.  Aku seperti melihatnya nyengir kerbau. "Jalan Belo, ck ck ck!"

Setelah Shalat Shubuh berjamaah di  masjid, aku dan ayah mampir di warung. Semangkok lontong menjadi bagianku. Aku memakannya dengan lahap. Beda betul dengan lontong buatan ibu. Entah apa sebabnya.  Kalau kau tak ditegor ayah, mungkin sama mangkoknya masuk  ke perutku. Sementara ayah hanya makan roti dan minum secangkir kopi. Banyak betul orang yang ayah kenal di warung itu. Mereka bercakap-cakap riang. Aku juga ingin cepat besar, biar banyak kawan.

Eh, ngomong-ngomong, apa yang kupikirkan tentang enaknya ikut ke pasar, kenyataan berbeda. Ayah berpeluh mengeluarkan karet dari pedati, lalu membawanya ke bagian penimbangan. Ayah berdebat sebentar dengan bagian penimbang. Seorang berpakaian necis mengipas-ngipaskan. Dia marah-marah kepada ayah sambil menunjuk ke luar gelanggang penimbangan. Ayah terdiam. Dia menerima uang dari orang berpakaian necis itu. Kata ayah kepadaku, karet dihargai murah. Dia bertengkar dengan  orang-orang tadi. Ternyata jadi orang besar itu tak enak, ya!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline