Lihat ke Halaman Asli

Bagaimana Seharusnya Kita Menyikapi Air (Hujan)

Diperbarui: 11 September 2019   21:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

illustration source: nationaldayofreconciliation.com

Keberadaan hujan memang menjadi  ambigu bagi kita. Saat tidak musim hujan (kemarau), air hujan menjadi tumpuan terakhir karena hot spot semakin banyak, thus air minum menjadi langka. Tidak hanya sumur mengering, sungai kerontang, pun pemberlakuan jam malam menjadi rutinitas tersebab harus mengintai air PAM menetes. Akibatnya warga seakan berlomba kuat-kuatan pompa, yang terkadang menimbulkan gap antar mereka.

Sebaliknya ketika musim hujan tiba, maka air menjadi momok menakutkan. Rutinitas menjadi terganggu karena banjir di mana-mana. Terkadang menimbulkan korban yang tidak sedikit. Tidak sedikit pula lahan pertanian jebol terjajah banjir.

Hal yang menyakitkan bagi warga  ibukota, dan kota-kota besar lainnya, daerah resapan air semisal taman kota semakin tergerus beton-beton. Seolah tidak ada lagi kesempatan bagi tanah untuk bernapas, dan tidak pula ada sela bagi air hujan meresap tanah. Akibatnya bila tidak musim hujan, maka susahnya kekurangan air melebihi susahnya  mendapatkan bbm. Karena pasti semua makhluk membutuhkan air, tapi tidak semua yang membutuhkan BBM.  

Ada beberapa hal yang sebenarnya perlu kita terapkan agar masalah air ( hujan) tidak selalu menjadi polemik klise dari tahun-tahun. Sejatinya hujan adalah berkah, terkadang malah menyusahkan, dan semua itu karena  manusia kurang ramah pada keberadaan hujan.

Pertama, setiap warga seharusnya mulai membudayakan daerah resapan air di wilayahnya masing-masing. Hal ini memang tidak bisa diberlakukan bagi mereka yang tinggal di rumah susun atau bedeng, misalnya. 

Tapi di lingkungan RT atau RW atau dalam satu kelurahan disediakan lahan kosong yang menjadi taman kota sekaligus resapan air. Juga dibutuhkan dalam satu kecamatan memeiliki kolam retensi. Sehingga ketika hujan, air tidak akan membanjiri rumah warga, dan ketika kemarau tiba bisa dijadikan alternatif lain sebagai bahan baku air layak konsumsi (tentu dengan proses yang higienis  atau campur tangan pihak PDAM). 

Baik  warga dan pemerintah harus bahu membahu menyikapi keberadan air hujan. Tentu saja ramah lingkungan juga perlu digalakkan, misalnya tidak membuang sampah ke aliran yang mengarah ke kolam retensi, atau pun sungai dan parit.

Kedua, pemanfaatan air hujan ini, bisa dipikirkan (khususnya pemerintah ibukota) untuk membuat proyek multiyear mencontoh apa yang telah digalakkan pemerintah Malaysia. 

Negara yang sering dilanda banjir ini, bahkan mengalami masa terparah pada tahun 1962, 1949, dan 1971, mulai memutar otak agar banjir yang melanda (apalagi karena curah hujan tinggi), bisa diminimalisir, bahkan suatu saat dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan air ketika musim kemarau tiba. Yakni, pemerintah Malaysia mulai menerapkan Smart Proyek tahun 2003, yaitu dengan membangun terowongan (tunnel) berdiameter 13,2 dengan panjang sekitar empat kilometer, dan dengan dua lapis jalan (dual deck).

illustration source: engineering-ru.dreamwidth.org

Di masing-masing ujung terowongan dibangun pula kolam (pond) penyimpanan bila curah hujan tinggi. Pembangunan terowongan ini bisa diterapkan di wilayah yang bersinggungan langsung dengan sungai. 

Saya memang tidak bisa menjelaskan secara detail tentang smart proyek ini, tapi pemerintah (khususnya ibukota) perlu mengadakan studi banding bagaimana untuk menerapkan  Smart Proyek ini (khusunya di Jakarta), ataukah proyek semacam ini sudah digalakkan? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline