Lihat ke Halaman Asli

Perut Bapak

Diperbarui: 9 September 2019   13:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi: pixabay

Perut Bapak semakin besar. Setiap kali  duduk berselonjor di sofa depan televisi, perutnya seolah gunung yang siap meletus. Sudah berulangkali aku dan Ibu memintanya menghentikan kebiasaan buruk itu. Tapi Bapak tetap keras kepala.

"Ini sudah kebiasaan Bapak. Tak bisa dihentikan! Lagipula, apa pernah Bapak jatuh sakit lantaran minum hampir setiap malam? Tak pernah, kan! Mati itu urusan Allah. Sakit dan sehat juga. Jadi kenapa harus pusing?"

Bapak memang senang minum minuman keras. Itu kebiasaannya sejak muda. Setelah menjabat manajer keuangan di perusahaan tempatnya bekerja, hampir setiap hari dia pulang larut malam. Selalu dengan mulut bau alkohol.

Terkadang aku berpikir, pada saatnya tiba, perut Bapak akhirnya meletus. Saat itu aku dan Ibu sedang asyik menonton televisi. Tiba-tiba pintu digedor. Buru-buru Ibu membukanya. Bapak berdiri di ambang pintu dengan tampilan kusut.  Dua buah kancing kemejanya bagian bawah, telah tanggal karena tak sanggup menyangga perut. Kulihat ada air di perut Bapak. Oh, bukan! Bukan air di perutnya, melainkan darah.

Belum sempat Ibu memapahnya masuk ke dalam rumah, perut itu tiba-tiba meletus seperti mercon. Lebih parah dari itu. Tubuh Ibu basah darah. Aku kemudian tak bisa melihat apa-apa karena darah telah membasahi mataku. Segera kubuang pikiran buruk itu. Dan memastikan bahwa aku tak pernah memikirkannya sama sekali.

Tapi kemudian, pikiran tentang perut meletus, atau lebih parah dari itu, ibarat martil memukul-mukul kepalaku. Bagaimana kalau Bapak mati mengenaskan? Sokib, tetanggaku, yang perutnya lebih besar dari perut Bapak, meninggal di rumah sakit.

Awalnya Sokib mengeluhkan perut dan dadanya panas. Dipikirnya masuk angin. Perut dan dadanya dilumuri balsem. Tapi dia bertambah merasa panas. Dia menjerit-jerit hingga istrinya panik. Kemudian dia dibawa ramai-ramai menumpang mobil Haji Kimin ke rumah sakit.

Kata dokter dia sakit liver. Hatinya hangus terbakar. Mungkin lantaran sering minum minuman keras. Hanya semalam di rumah sakit, besok paginya, Sokib meninggal.

"Apakah Bapak tak takut...." Ibu yang memulai percakapan, ketika kami sedang bersantai di depan televisi. Ibu selalu tak mampu menatap mata Bapak, setiap kali ingin memberi nasehat.

"Tak takut mati seperti Sokib maksudmu?" Perut Bapak sedikit berguncang. Suara televisi dia kecilkan. "Mati itu takdir! Urusan Allah!"

"Tapi urusan Allah juga kalau Bapak selalu minum minuman keras. Dosa, Pak!" Entah apa yang membuatku tiba-tiba mampu berkata lebih tajam kepadanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline