Lihat ke Halaman Asli

Di Gerbong Kereta

Diperbarui: 1 September 2019   21:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi : pixabay

Saya mengambil tempat duduk di gerbong paling belakang, di bagian sudut. Di sini pasti saya bisa menikmati suasana di luar sana setelah roda kereta menggeleser rel sekian puluh mil. Melewati gunung-gunung kecil, lalang-lalang kerdil, para peladang penyuka para, para petani penyuka bulir padi yang sangkut di capingnya.

Ini adalah  perjalanan terpanjang saya menumpang kereta dari Kertapati ke Tanjung Karang. Kamu mungkin berpikir aku lagi sinting. Bisa melihat suasana di luar pada saat malam.

Saya kasih tahu, kereta ini adalah kereta malam, yang barangkat selewat jam delapan, dan diam-diam membiarkan kota Palembang lebih cepat tidur malam ini. Mungkin cukup sudah kencan, hura-hura, dan saya memutuskan menikmati kereta, sambil menyimpannya di dalam laptop.

Saya tak ingin sepi, setelah sekian jam lalu Hesti mengatakan, tidak akan menyesal  kami putus. Meski kami sudah tunangan. Ya, meskipun! Meskipun  dia hampir mencatat semua kata cinta yang keluar dari mulut saya.

Tentu saya tidak ingin mati karena cinta. Cinta itu terkadang memberikan kebersamaan, menumbuhkan sayang.  Sebaliknya, tanpa malu-malu, cinta juga mempersembahan perpisahan. Itu hal wajar. Cinta diciptakan agar kita merasakan bagaimana legit pertemuan, bagaimana perih perpisahan.

Tapi, banggalah karena perpisahan menyajikan kelezatan rindu yang mengajari setiap penikmatnya menjadi penyair tercengeng sedunia, meski ketika sedang lapar masih lebih suka ayam bakar Mbok Berek ketimbang merundung malang perpisahan.

Sementara saya selalu ada pengganti setiap kali seorang wanita tega memutus cinta dan meninggalkan saya. Seperti segelas sampanye. Tapi, cepat-cepat saya ralat kata-kata itu.

Sampanye memang berhasil menggirang isi kepala sekejap. Dia teman setia. Tapi kesetiaanya akan terbayar menjadi bentakan penghuni komplek, ketika saya pulang sambil bernyanyi-nyanyi si Togol dengan kata terbalik. Itu adalah penghinaan untuk sebuah nama. Supaya kau tahu, nama teman saya di komplek itu memang si Togol.

Maka sekarang lebih sehat saya berteman labtop, seperti malam ini. Saya bisa mengukir perjalanan dalam layar, yang mungkin ketika kau baca, terasa indah, atau terasa jelek seumpama kain gombal dan tong sampah.

"Di bangku itu ada orang." Wanita di depan saya berbicara tanpa melihat ke arah saya. Gelap di luar lebih kuat memerangkap hasratnya.

"Pria?" tanya saya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline