Lihat ke Halaman Asli

Surai

Diperbarui: 16 Agustus 2019   10:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi : pixabay

Baca juga :Tukang Sulap,Betis Ken Dedes,Apa yang Kau Cari Palupi,Resep Pecel Lelel Wan Hamidah, Anak Pribumi

Surai sudah berteman dengan saya sejak dia menjadi sahabat kental bapak. Kami sering mengelilingi kebun kopi seluas lima hektar itu agar tak habis dilahap makhluk lain semisal musang. Atau mahluk yang tak bisa kenyang bernama manusia.

Setelah kebun kopi diwariskan bapak kepada saya pada saat dia hampir sakaratul maut, praktis sayalah yang menjadi sahabat kental Surai satu-satunya. 

Awalnya saya bertahan menanam kopi sebagai tradisi turun-temurun yang tak boleh dilanggar. Tapi saya tak bisa mengelak  dari tuntutan pasar. Masyarakat lebih suka sop atau jus buah. Keberadaan minum kopi yang terlihat feodal, mulai ditinggalkan. 

Warung-warung kopi sepi pembeli karena masyarakat jenuh dengan bual-bualan. Parabola  tak lagi menjual, sebab aplikasi di ponsel lebih mudah dan murah untuk menjangkau siaran televisi nyaris seantero jagat.

Ada beberapa buah yang saya pelihara di kebun itu, mulai jeruk, mangga, pepaya, dan cempedak. Sementara di pinggir-pinggir, saya tanami salak, agar menghalangi maling pengganggu.

Senja ini setelah  mengitari kebun buah, saya dan Surai bersiap menyantap makan siang yang lumayan terlambat. Surai dengan manja rebahan di paha saya. Saya membiarkannya saja. Dulu dia manja dengan ayah. Tentu sebagai sahabat kentalnya, tempat dia bermanja hanyalah saya.  

Terkadang saya iseng menggelitikinya. Dia balas mengigit lengan saya pelan. Kami akhirkan permainan sambil bergelut di atas tanah. Terkadang saya yang menang. Namun, Surau lebih sering menjadi kampiun.

"Saya sayang kamu, Surai." Saya mengelus-elus kepalanya. Dia melenguh. Menyurukkan kepalanya ke bawah ketiak saya, sehingga saya terpancing menggelutnya. Kami terengah-engah, bersimbah keringat.

"Saya harap kau jangan nakal. Musuhmu semakin banyak. Saya tak ingin kau terlibat pertarungan, dan harus mati. Saya tak tahan kalau kita berpisah. Saya bisa mati rindu."

Saya membuat api unggun. Telah tiba saatnya kami menyantap menjangan bakar yang saya tombak tadi siang. Surai sabar menunggu sampai menjangan benar-benar matang. Dia berpindah dari dekat saya, dan sengaja tidur-tiduran di atas batu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline