Lihat ke Halaman Asli

Haji Jubir

Diperbarui: 10 Agustus 2019   12:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi : pixabay

Kisah ini berasal dari sebuah rumah yang mentereng di bilangan pinggir kota. Haji Jubir pemiliknya. Dia seorang pengusaha supermarket kelas kakap. Kendati super kaya, hidupnya tak peduli dengan glamour dunia. Hari-harinya penuh ibadah. Jangan dikata shalat wajib, shalat sunat saja tak pernah lowong.

Dari shalat hajat, dhuha, qobliah-bakdiah, tahiyatul Masjid, tahajud, hajat, hingga ditutup witir. Dari puasa wajib di bulan Ramadhan, puasa sunat Senin-Kamis, puasa syawal, dan puasa sunat lainnya. Hari-harinya selalu dipenuhi ibadah. Sepertiga hidupnya adalah di Masjid, sepertiga di tempat pekerjaan, sepertiga untuk tidur. Wajarlah orang menyebutnya, calon penghuni sorga. Amat mustahil dia dijilat api neraka. Bila menjelang shalat wajib, dia sudah berada di Masjid. Dia paling awal sebelum jamaah lain datang. Dia paling akhir pulang, setelah jamaah terakhir pulang.

Akan hal lelaki miskin yang rumahnya menempel di dinding rumah Haji Jubir, Marjuki namanya. Seorang tukang tambal ban. Pada saat bulan Ramadhan tiba, dia memang ikut puasa sebulan penuh. Tapi, tak sehari pun dia melaksanakan puasa sunat. Dia jamaah yang selalu paling akhir tiba di Masjid saat akan melaksanakan shalat wajib. Pun dia pula jamaah pertama keluar dari masjid sebelum jamaah lain pulang.

Dia hanya melakukan ibadah yang wajib-wajib saja. Berhaji saja belum pernah. Dia terlihat selalu mementingkan tambal ban ketimbang ibadah. Bahkan hidup di dunia begitu ngotot, karena saat lebaran tiba, bukannya sibuk di rumah menunggu tamu datang, eh, dia malahan membuka lapak tambal ban. Dia setiap hari buka dari pukul tujuh pagi dan tutup pukul satu dini hari. Orang yang ngotot dunia, tapi tak pernah menyicip kekayaan.

***

Tiba-tiba waktu itu datang, seluas mata memandang hanya lautan manusia yang menjerit, menangis ingin dimintakan balik ke dunia. Hanya sedikit sekali orang yang bisa tersenyum. Sementara Haji jubir merasa agak tenang ketika memikirkan ibadahnya di dunia. Tapi, tiba-tiba dua orang yang sangar mengepit tubuhnya, meraka mengarahkan Haji Jubir ke kobaran api, bukan ke jembatan yang lebih halus dari rambut dibelah tujuh, dan lebih tajam dari mata pedang itu. Lalu, dia melihat seorang lelaki yang melambai kepadanya, seakan kilat melintasi jembatan sambil tertawa sukacita.

Haji Jubir tersentak, "Sebentar! Aku mau protes. Kenapa lelaki itu begitu mudahnya melintasi jembatan, sementara aku kalian bawa ke api yang menyala-nyala. Bukankah kalian tahu, hajiku sudah berapa kali? Keningku menghitam, kakiku kapalan sebab sering sujud, perutku rata karena senang berpuasa. Apa guna ibadahku?"

"Kami akan membawamu ke neraka," jawab salah seorang di antara dua orang itu. "Kau merasa bangga dengan ibadahmu, tapi pernahkah kau berpikir untuk membenarkan jalan di depan rumahmu? Memasang lampu jalan agar orang yang lalu-lalang menuju Masjid bisa tenang. Tahukah kau jalan buruk di depan rumahmu membuat banyak kendaraan yang kesusahan melintas? Apakah kau pernah membantu fakir-miskin, anak-anak yatim yang butuh uluran tangan? Kau hanya sibuk dengan ibadah agar bisa diridhoi Allah SWT. Tapi, kau tak peduli sesama. Hanya supermarketmu makin besar dan tersebar di mana-mana."

"Lalu, si Marjuki itu kenapa langsung melesat ke sorga? Ibadahnya tak hebat-hebat amat. Dia lebih mementingkan dunia ketimbang akhirat," protes Haji Jubir.

"Ya, kau benar. Ibadahnya memang yang wajib-wajib saja. Dia hanya memikirkan tambal ban. Dia merasa susah bila ada pengendara yang ban kendaraannya pecah, mau kemana menambal bannya kalau lapaknya tutup? Maka setiap selesai shalat wajib di Masjid, dia bergegas pulang. Dia tak pernah mencekik pelanggan dengan harga yang selangit, meskipun dia satu-satunya tukang tambal ban di situ. Bahkan bila ada orang yang kekurangan uang untuk membayar jasanya, dia meminta ditangguhkan sisanya. Bila sisa yang ditangguhkan itu tak juga dibayar, dia ikhlaskan, anggap saja sedekah. Kalau pelanggan tak ada uang untuk membayar jasanya, dia juga ikhlas. Asal orang itu bisa mengerjakan apa yang menjadi tujuannya. Itulah mengapa lapaknya sudah dibuka pukul tujuh pagi, dan ditutup pukul satu dini hari. Kau tahu kenapa dia sampai buka saat lebaran tiba? Hanya karena dia tak ingin orang terkendala silaturahmi karena ban kendaraan bocor. Jalan di depan rumahmu memang buruk sekali."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline