Bagian ke 3
Malam mencekam. Jalan Surabaya 5 lebih cepat lengang. Satu-dua mobil menembus gerimis yang mulai rapat. Kafe Neo Raka teronggok sunyi dilingkar garis polisi. Terbaca sesekali lampu di taman depan; Kafe Ne Raka, karena di bagian huruf "o", sesekali lampunya padam. Ada seorang lelaki berjambang---mungkin gelandangan---menyalakan api unggun di depan kafe. Dia ingin menghangatkan jari-jemari tangannya. Mungkin dia ingin menghalau rematik, atau entahlah!
Sebuah mobil jeep hitam berbadan besar, membuatnya ketakutan. Cepat-cepat dia menginjak api unggun. Dia berlari terseok seiring tikus botak melesat ke dalam pipa pembuangan air.
Dua orang berjaket hitam keluar dari dalam mobil jeep itu. Mereka berlari menghindari gerimis, lalu menuju selasar Kafe Neo Raka. Sesaat mereka saling bersitatap. Oh, saya kenal. Mereka adalah Robinson Marpaung dan Abraham Moer.
Moer menyalakan senter, dan masuk ke dalam kafe. Sungguh kacau kondisi di dalam! Segala perabot terhumbalang. Cerita Moer, dini hari tadi, ada belasan orang yang membuat seisi kafe porak-poranda. Entah mereka keluarga korban yang kesal karena Ketty masih belum ditahan. Atau ada orang yang ingin menyamarkan barang bukti. Moer sendiri masih bingung.
Marpaung jongkok di dekat sebuah meja. Dia melihat sisi-sisinya, juga kursi yang terhumbalang. Seakan dia bisa mengajak mereka berbincang.
Marpaung menyentuh sesuatu dengan jari telunjuk. Menyicipinya, lalu meludah cepat. Tiba-tiba dia menjentikkan jari tangan, menyuruh Moer mendekat.
"Ada apa, Dan?" Moer ikut berjongkok di sebelah Marpaung.
"Ah, kau ini! Aku hanya purnawirawan."
"Tapi dalam bertugas, abang tetap komandanku."