Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Tukang Sulap

Diperbarui: 29 Juli 2019   15:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi : pixabay

Terkadang orang tua mempunyai beragam cara agar anak menuruti kemauan mereka. Dari yang masuk akal, hingga mitos. Rata-rata omongan mereka tak masuk akal. Seperti pura-pura menjual adek Saf kepada orang lain sekian ribu. Sekian ribu pula kemudian orang tua saya kembali menebus adek Saf.

Kata Mak, wajah ayah mirip adek kecil saya itu. Jadi, dia harus pura-pura dijual dan ditebus kembali agar salah satu dari mereka tak mati muda. Konon dipercaya bahwa bila sorang ayah mirip dengan anaknya, maka salah seorang di antara mereka akan mati muda. Tak masuk akal kan? Adek Saf yang duluan mati, tentu benar dia mati muda. Tapi, kalau ayah yang mati duluan, bukankah itu namanya mati tua?

***

Saya paling senang menonton acara sulap setiap hari pekan di bawah pohon mahoni. Saking senangnya, setelah jajan di pasar sepulang sekolah, saya akan betah melihat atraksi tukang sulap yang mengagumkan.

Saya pulang sekolah pukul dua belas siang, akan tiba di rumah hampir maghrib. Padahal jarak sekolah ke rumah saya hanya lima ratus meter.

Mak sering kali merepet karena saya selalu pulang terlambat setiap hari pekan. Ujung sapu akhirnya ikut menyalak, dan mengigit ujung betis saya. Sakitnya sampai menggetarkan punggung.

Apakah akhirnya saya bertobat pulang terlambat setiap pekan? Kau pasti salah besar! Saya sama sekali tak bertobat. Saya tetap betah dengan tukang sulap. Terkadang saya menonton mereka sendirian. Terkadang bersama seorang teman, atau ramai-ramai.

Saya ingat suatu pekan saya pulang selepas maghrib. Saya sendirian ikut tukang sulap membersihkan wajahnya yang penuh bedak di pancuran masjid. Saya beroleh permen kacang dari bapak pesulap.

Dan saya mendapat bencana besar setiba di rumah. Bukan lagi mak yang turun tangan, tapi ayah langsung mengambil kopel, menggamangkan ke udara.

Saya paling takut ayah marah. Meskipun dia hanya menggamangkan kopel itu, tapi sakitnya sudah menggetarkan jantung. Saya menangis di pelukan mak. Dia merayu tangisku dengan nasi rendang belut, pun sejumput sambal taruma ( nama kripik sambal).

Saya yang terlambat melakukan Shalat Maghrib, harus membayarnya dengan mengaji setengah jam setelah Shalat Isya. Begitu kami bertiga duduk di ruang tamu menikmati kacang rebus, ayah mulai mengeluarkan jurus meracuni otak saya dengan ketakutan-ketakutan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline