Lihat ke Halaman Asli

Tetangga-tetangga

Diperbarui: 13 Juli 2019   15:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi : pixabay

Sum mengerling manja ke arahku. Secangkir kopi seketika berasa susu. Sepotong ubi bak seiris roti. Aku bingung mengapa selalu memerhatikannya beberapa hari ini. Kerling manja. Rima kata. Bahkan lenggak-lenggoknya seperti entok beriring.

Perbincangan bersama Julak perkara politik, terhenti sejenak. Aku tahu Julak ingin kami tetap di jalur resmi para lelaki; politik. Tapi perempuan ini lebih mengundang selera. Secangkir kopi dan sepotong ubi saja tak sanggup mengalahkannya.

Dia tetangga baruku. Dinding rumah kami berdempetan. Umurnya, hmm, mungkin tiga puluh lima tahun, atau lebih. Kabarnya dia janda dicerai laki sebelum usia pernikahannya genap satu tahun.

Aku selalu silap mata, menganggapnya berumur dua puluh tahun. Apalagi soleknya menggoda. Apalagi rambutnya sekarang basah selepas mandi. Bau shampo itu masih kentara. Hidungku juga beraroma Bvlgary.

Aku tergeregap membetulkan sikap saat Julak menyikutku. Malu rasanya dengan peci hitam yang nangkring di kepala.

"Cantik, ya?"

Aku menoleh ke arah Julak. Kumisnya bergerak-gerak lucu. Mirip kucing mengintip tikus.

"Hmm."

"Kok hmm? Jadilah cantiknya menurut Mas Jagat?"

"Mau beli apa, Dek Sum?" tanyaku mengacuhkan Julak.

"Beli gado-gado. Ini lagi diuleg. Tadi sudah mesen!" Ni yang menjawab. Perempuan ini, sudah bongsor juga bau karena hanya cuci muka dari pagi, eh... berbunyi pula. "Pedes, Mbak Sum?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline