Lihat ke Halaman Asli

Lika-liku Hidupku yang Mengharukan

Diperbarui: 10 Juli 2019   12:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi: pixabay

Aku seolah terhempas ke dalam jurang yang paling dalam ketika mengetahui Bapak akhirnya meninggal dunia setelah kecelakaan hebat yang dialaminya di jalan protokol W. Usiaku saat itu menginjak empat belas tahun. Usia yang masih sangat butuh perhatian seorang Bapak, terutama berkaitan dengan masalah materi. Sudah barang tentu saat Bapak tiada, maka keputusan terbaik aku harus putus sekolah. Demikian juga adikku. Karena bagaimanalah berharap kepada Ibu. Selama menikah dengan Bapak, dan memiliki dua orang anak, dia hanya tahu menjadi ibu rumah tangga yang baik. Dia tak pernah direcoki masalah mencari uang. Selain belum memiliki keinginan untuk mencangkul kerasnya kehidupan, ultimatum Bapak ketika masih hidup adalah Ibu harus fokus mengelola keluarga. Masalah mencari nafkah ada di kepal tangan Bapak yang lihai memainkan kemudi. Bapak seorang sopir truk. Di truk pula dia menemui ajalnya.

Ibu pun terpaksa berjibaku menjadi penjaja panganan sambil berjalan membawa nampan dari lorong demi lorong. Mulanya dia malu. Tapi tuntutan hidup yang mencekik, memaksanya membunuh malu. Aku putus sekolah dan tak tahu mau berbuat apa. Adikku pun demikian. Kami hanya mampu mengurusi rumah seperti menyapu, mencuci piring dan pakaian. Sementara memasak dan menyeterika pakaian masih tertumpu pada tenaga Ibu.

Empat bulan setelah Bapak meninggal, adikku mengulah. Dia mulai senang bermain bersama anak sembarangan. Terkadang seharian dia tak ada di rumah. Bahkan kerap selepas isya dia muncul dengan wajah legam, rambut awut-awutan. Puncak ulahnya adalah ketika di suatu malam aku menemukan kaleng lem di bawah dipannya. Aku tahu tak ada yang mesti dilem di rumah. Aku menginterogasinya. Lalu apa jawabannya ketika tersudut? Ya, Allah, dia ternyata telah terjebak pergaulan tak benar. Dia menghisap lem demi ketenangan memabukkan.

Aku tak ingin membuatnya tambah terjerumus dengan memarahinya. Aku hanya menasihati, sekaligus mengajaknya berpikir bagaimana Ibu telah bersusah-payah menghidupi kami. Seharusnya, bila tak sanggup membantu Ibu mencari nafkah, janganlah pula kami menambah beban kesusahannya.

Alhamdulillah adikku sadar. Dia pun tak lagi gemar bermain dengan anak sembarangan. Sementara aku yang mulai bosan berpangku-tangan, mencari-cari celah mencari uang. Kasihan Ibu hanya sendirian memikirkan biaya hidup kami.

Beruntung seorang teman memberi jalan. Dia menawarkan aku berjual asongan. Tak perlu modal, karena barang yang hendak diasong adalah milik bapaknya. Bapaknya memiliki toko di bilangan pusat kota. Ah, ternyata kalau ada kemauan pasti jalan.

Berjualan asongan kujalani dengan sungguh-sungguh. Karena kegigihanku, akhirnya terkumpullah duit sedikit demi sedikit. Jadilah menambahi biaya hidup kami, sehingga beban Ibu sedikit berkurang. Adikku pun tak mau kalah. Dia diam-diam berjualan koran di persimpangan jalan. Senang juga rasanya. Berarti biar pun usianya masih muda, dia sudah perduli penderitaan Ibu.

Kesibukan menjadi pedagang asongan, tiba-tiba terganggu karena aku dituduh orang mencopet. Beruntung aku bisa melarikan diri, kemudian bersembunyi di rumah. Hanya saja sejak itu aku takut keluar rumah sampai jauh-jauh. Aku tak ingin bertemu orang yang menuduhku mencopet. Bisa-bisa massa menghakimi, kemudian mengadukanku ke polisi.

Aku kemudian mencari penghidupan lain menjadi kernet bis kota. Ternyata begitu berat tantangan menjalani pekerjaan itu. Sering sekali aku harus bertengkar dengan penumpang yang tak mau membayar ongkos. Belum lagi berurusan dengan pemalak yang tak segan-segan main pukul atau tikam. Lagi pula tubuhku seperti ringsek sebab dari pukul enam pagi sampai sepuluh malam, berkeliaran di jalanan yang garing dan sering sekali hujan bercampur angin kencang. Oleh sebab itu aku hanya bertahan menjadi kernet selama dua bulan. Kemudian aku menganggur lagi.

Seorang saudara laki-laki Ibu mendadak berkunjung ke rumah kami dari kota di seberang pulau. Dia lumayan berkecukupan. Melihat kehidupan kami yang morat-marit, dia memutuskan mengajakku tinggal di rumahnya. Bukan hendak dicarikan kerja, melainkan disekolahkan kembali. Saudara laki-laki Ibu tahu kalau otakku encer. Sebab sejak kelas satu SD hingga menginjak bangku SMP, aku selalu rangking pertama di kelas.

Berat juga rasanya berpisah dengan Ibu dan adikku. Tapi apa mau dikata, kepergianku ke negeri orang adalah untuk kebaikan bersama. Bila pendidikanku berhasil, aku toh bisa bekerja di perusahaan-perusahaan besar misalnya. Otomatis aku bisa menarik Ibu dan adikku dari lobang kesusahan. Aku akan memberikan mereka kebahagiaan, sehingga keduanya bisa tersenyum lebih cerah dari biasanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline