Lihat ke Halaman Asli

Suamiku Sang Anak Ibu

Diperbarui: 9 Juli 2019   15:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi: pixabay

Berbilang tahun lalu aku mengenal Gon (nama samaran), lelaki yang sangat mengharubiru hatiku. Dia ibarat semburat mega ketika matahari senja bertahta di ufuk barat. Selalu indah dilihat. Selalu menimbulkan keromantisan yang syahdu. Maka, meskipun dia kelihatan malu-malu mengungkapkan rasa sukanya, aku telah menyediakan sebuah bilik dalam hati, tempat bersemyayam cintanya yang malu-malu.

Dia adalah seorang penyanjung perempuan. Katanya, perempuanlah yang melahirkan dan membesarkannya. Perempuan yang mengajarkannya kasih-sayang. Hingga baginya, perempuan adalah sosok yang perlu disanjung dan dihormati.

Aku selalu merasa terlindungi olehnya. Aku bangga karena dia sangat perduli kepada perempuan terutama ibunya. Tapi apakah sifatnya tersebut membuatku merasa nyaman?

Ternyata tidak! Berbulan setelah kami berjalan bersama, aku mulai merasa risih. Semua keputusannya selalu harus sepengetahuan sang  ibu. Seperti yang terjadi ketika aku mengajaknya menghadiri pesta pernikahan sepupuku di kota L. Rencana itu batal, dan aku sangat tak enak hati kepada sepupuku.

Memang kota L berjarak hampir tigaratus kilometer dari kota kami. Untuk itu kami harus menginap di sana semalam, tepatnya di rumah pamanku. Kondisi demikianlah yang membuat ibu Gon secara tegas tak mengijinkan Gon pergi denganku.

Kataku kala itu, "Kan Abang sudah dewasa! Seharusnya Abang harus menentukan sikap, mau begini, mau begitu. Jangan semua tergantung kepadanya."

"Aku tak ingin membuat Ibu kecewa."

Aku sangat kecewa. Namun kutahan-tahankan saja. Mungkin ibunya memiliki alasan sehingga tak mengijinkan Gon pergi menghadiri pesta pernikahan tersebut denganku. Aku dan Gon masih berstatus pacaran. Bila terjadi apa-apa, semisal kami tak bisa memendam asmara, maka yang terjadi adalah hubungan terlarang. Keluarga Gon pasti malu, terlebih-lebih keluargaku.

Kondisi berpacaran kami kemudian aman-aman saja. Namun suatu hari, ketika aku meminta dia menikahiku, Gon mulai ragu-ragu untuk menetapkan kapan acara lamar-lamaran, pernikahan dan pesta dilaksanakan. Dia harus berkonsultasi kepada ibunya agar semua berjalan sukses.

Ternyata malahan sebaliknya. Memang ibu Gon sangat setuju kami menikah secepatnya demi menghindari hal yang tak diinginkan, yakni aku hamil di luar nikah. Tetapi embel-embel di belakangnya membuatku sakit hati. Dia menetapkan hari dan tanggal lamar-lamaran di hari dan tanggal yang sama sepupuku menikah. Dia juga menetapkan hari dan tanggal pernikahan serta pesta-pesta, di saat sama ayahku harus menghadiri acara reuni teman-teman kuliahnya.

Aku mencoba mengajukan hari dan tanggal yang lebih baik. Nyatanya ibu Gon tak setuju. Dia besikeras dengan keputusannya. Hingga ketika aku bercerita kepada ayah dan ibuku, mereka hanya menggeleng-geleng saja. Ibuku malahan berkata demikian, "Belum menikah, kalian sudah dibawah pengaruh seorang ibu yang diktator. Bagaimana kelak kalau kau dan Gon sudah berumah tangga? Apakah segala masalah di dalam rumah tangga kalian harus diselesaikan oleh calon ibu mertuamu itu?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline