Lihat ke Halaman Asli

Aku Terlepas Perangkap Cinta Terlarang

Diperbarui: 8 Juli 2019   18:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi : pixabay

Perjumpaan pertama setelah hampir lima tahun kami tak bersua, membuat hati ini tak nyaman. Padahal seandainya kami bertemu di luar sana, dan bukan di rumahku, pasti aku senang bukan kepalang. Ah, terpaksa kubunuh gelenyar di dada. Hengky (nama samaran) kiranya telah menjadi kekasih Inggit (nama samaran kakakku). Mereka baru menjalin kasih sekitar sebulan. Hengky yang sebelumnya bekerja nun di seberang pulau, dimutasikan ke kota kami. Saat itulah dia dan Inggit memadu kasih, karena kantor mereka memang bersebelahan.

Seperti kondisiku, mungkin hati Hengky juga tak nyaman. Semasa kuliah, dia adalah kakak kelasku di fakulas ekonomi. Kalau boleh narsis, kami berdua adalah orang-orang brilian yang memiliki wajah fotogenik. Pantas saja kami menjadi idola. Dia  menjadi rebutan para perempuan, dan aku disibukkan oleh lelaki-lelaki yang kebanyakan tak tahu malu.

Sebetulnya aku memendam rasa suka kepada Hengky. Setiap kali melihatnya, mataku tak bisa diajak berkedip. Berulang teman-teman mengejutkan, kemudian menggodaku sehingga pipi ini panas. Mungkin oleh sebab tingkahku itulah, Hengky merasa mendapat lampu hijau. Suatu hari dia nekad mengungkapkan isi hatinya kepadaku.

Jujur, meskipun menaruh hati kepada Hengky, aku belum memiliki kekuatan untuk bersedia menjadi kekasihnya. Aku malu. Tubuhku merinding. Seumur-umur, aku belum pernah mencecap apa yang namanya pacaran. Itulah penyebab aku bergelar sebagai si gunung es.

Entah sebal menunggu jawabanku, atau karena sebab lain, tiba-tiba Hengky menjauh dariku. Kabar berikutnya dia berpacaran dengan seorang perempuan berjilbab dari fakultas pertanian. Pupus sudah harapanku. Aku menyesal telah menyia-nyiakan kesempatan menjadi kekasih sang lelaki idola. 

Meski masih berharap suatu waktu Hengky masih bersedia meraih cintaku, namun semua hanya angan-angan. Setamat kuliah, dia hengkang ke pulau seberang menemui pamannya. Dia diterima bekerja di sebuah instansi pemerintahan.

Sedangkan aku, saat meraih gelar sarjana, diterima bekerja di sebuah perusahaan jasa. Bayang-bayang wajah Hengky lamba-laun menghilang. Timbunan pekerjaan di kantor, serta berbagai persoalan yang harus diselesaikan di rumah, selanjutnya menghilangkan ingatanku tentang sosok seorang Hengky. Hingga tiba-tiba dia muncul mengejutkan, sekaligus membuat diri ini gugup.

Kami sempat beramah-tamah, meski terasa kaku. Aku yang tak ingin dicurigai Inggit sedang mencoba merebut hati pacarnya, belakangan menghentikan keramah-tamahan itu. Kututup pintu hati untuk Hengky apabila dia datang sebagai calon pacar. Kubuka pintu hatiku lebar-lebar apabila dia muncul sebagai calon abang ipar.

Aku kembali bisa menenangkan perasaan. Buat apa  mengenang masa lalu yang pasti memperkeruh suasana. Aku semestinya bersyukur, Inggit akhirnya bisa mendapatkan kekasih serupa Hengky. Inggit sudah berumur. Keinginan seluruh keluargaku, dia bisa menikah lebih cepat. Lalu, kenapa aku haru mengotorinya dengan kenanganku yang cengeng bersama Hengky?

Ternyata harapanku agar perjalanan cinta Hengky dan Inggit tak mendapat halangan berarti, kiranya jauh panggang dari api. Saat aku bersantap sendirian di restoran cepat saji, mendadak seorang lelaki menepuk pundakku. Aku terkejut. Ternyata dia adalah Hengky. Dia langsung menarik kursi, kemudian duduk di seberangku.

Andaikata dia hanya membicarakan yang umum-umum semisal rencana pernikahannya dengan Inggit, aku bisa bersikap lebih rileks. Tapi ini, dia hanya membuka kenangan lama yang seolah mencekik leherku. Dia mengatakan masih memendam cinta yang dalam terhadapku. Dia utarakan ingin menjadi kekasihku. Ingin mengajakku melangkah ke mahligai bernama keluarga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline