Nikahilah seseorang yang mencintaimu melebihi rasa cintamu kepadanya. Kalau cintamu 30 persen, maka cintanya 70 persen. Tapi kalau cintamu yang 70 persen, dan dia 30 persen, maka celakalah kamu. Begitulah saran seorang teman dekatku, manakala aku berniat mencari pasangan hidup, setelah kurasakan umurku matang dan pekerjaanku mapan. Saran itu dilontarkannya, adalah agar kelak akulah yang bisa menguasai istriku, bukan dia yang membuatku menjadi bulan-bulanan.
Oleh sebab itu, kubunuh segala rasa cinta ini kepada setiap perempuan cantik dan kemanja-manjaan. Manakala bertemu dengan Maya (nama samaran) pada tahun 2002, maka langsung kujatuhkan pilihan kepadanya. Dia perempuan sederhana dengan wajah yang sama sekali tak cantik. Hanya senyum manisnya yang membuat hati sedikit tergoda.
Dia sangat mencintaiku. Terbukti ketika aku sedang sakit, dia sengaja membela-belain diri datang dari tempat tinggalnya di kota ME ke kota P. Padahal jaraknya cukup jauh. Aku juga sering pura-pura marah terhadap kesalahan sepele yang diperbuatnya. Nyatanya dia hanya tertunduk dan meminta maaf sebesar-besarnya. Sementara ketika aku membuat kesalahan fatal, misalnya terpergok olehnya berjalan berdua dengan perempuan lain, dia hanya bertanya sepintas siapa perempuan itu. Saat kukatakan dia sebatas kawan, Maya pun maklum dan tak ingin memperuncing masalah.
Kemudian kunikahi dia hanya demi menjaga jangan sampai diinjak-injak apalagi terlalu diatur perempuan yang bernama istri. Padahal jujur saja, ketika kutanya hati ini, sebenarnya aku hanya menganggap Maya sebagai teman. Bukan sebagai seorang kekasih yang dicintai sepenuh hati. Tapi sungguh, saran temanku yang telah kujalankan memang seratus persen tokcer. Maya selalu melayaniku dengan tulus tanpa neko-neko. Bila aku pulang larut, dia hanya menegurku agar jangan terlalu memforsir tenaga di kantor. Namanya bekerja, ya... harus tetap bisa menjaga badan. Padahal jujur saja, aku pulang larut bukannya melemburkan pekerjaan. Namun aku hanya pergi heppy-heppy ke tempat hiburan malam bersama teman-teman masa lajangku.
Perlakuan Maya yang tak neko-neko dan tak banyak curiga itu, membuat perilakuku menggila. Aku mulai senang pergi hampir setiap malam ke tempat karaoke. Pulang ke rumah, Maya selalu hadir sebagai istri yang setia. Dengan mata mengantuk dan tubuh kelelahan, dia tetap berjuang menyenangkan hatiku. Dia memanaskan nasi dan gulai atau sengaja memasak mie demi mengisi perutku. Padahal aku tak lagi nafsu menyentuhnya, sehingga besok pagi seluruh makanan itu menjadi teman tong sampah. Begitu pula dengan sabarnya dia menjerangkan air untukku mandi. Memijiti tubuhku agar lelahku tercerabut. Sedangkan yang keluar dari mulutnya hanya kata-kata nasehat; jangan terlalu capek bekerja, minum vitamin agar badan tetap fit, jangan suka tidur terlalu larut. Dan, ah... Betapa aku tak berterimakasih mendapatkan istri secantik dia.
Karena rasa tak enak di hati, akhirnya kukurangilah keluar malam. Aku mulai mencoba mencintai Maya sepenuh hati. Aku ingin dia merasa bangga memperoleh suami sebaik aku.
Waktu pun berlalu tanpa menimbulkan keretakan hubunganku dengan Maya. Manakala anak pertama kami lahir, maka hubungan kami semakin lengket bagai dilem. Aku merasa bahwa dia adalah istri tercantik dan terbaik di dunia.
Tapi manakala anak kami mulai tumbuh besar, menyusul lahirnya anak yang kedua, perasaan cintaku sama sekali luntur kepada Maya. Bukan apa-apa. Karena sibuk mengurusi rumahtangga, dia tak lagi dapat menjaga kondisi tubuh. Badannya mulai gembrot. Pipinya bulat bagai kue apem. Sementara ketika aku pulang dari kantor, aku seolah bertemu bukan dengan seorang istri, melainkan pembantu. Coba saja, dia menyambutku dengan rambut awut-awutan. Muka comang-cemong terkena percikan tepung atau kotoran di dapur. Bahkan bau keringatnya sering membuatku enggan duduk berlama-lama di dekatnya.
Entah karena itu, atau aku sendiri yang gila, kebiasaanku keluar malam mulai lagi. Sebelumnya aku senang ke pub, karaoke atau tempat lainnya, selalu dengan rekan lelaki. Tiba-tiba beralih mulai mengincar rekan perempuan di kantor. Awalnya bertiga atau berempat, hanya demi acara cekakak-cekikik dan sebatas saling goda. Tapi manakala bos di kantorku mempekerjakan sekretaris baru yang seksi dan cantik, mendadak pikiran kotor menghinggapiku.
Kebetulan arah rumahku dengan rumahnya sama, maka mulailah keakraban terjalin di antara kami. Dari sering pulang bersama, hubungan ditingkatkan menjadi sering makan bersama. Lalu nonton bersama. Karaoke bersama. Hingga tatkala kukatakan aku sangat mencintai dan ingin memacarinya, maka gayung itu pun bersambut. Kami benar-benar menjadi sepasang kekasih gelap. Dia yang mengetahui aku telah memiliki Maya, cuek saja. Kalau aku lebih mencintainya, itu berarti dia lebih hebat dari istriku, apalagi kalau dihubungkan dengan persoalan bercinta. Ibarat kata, kami menjadi sepasang kekasih yang kumpul kebo. Dan hari-hari libur yang biasanya kuhabiskan dengan anak-istri, beralih dilalui bersama selingkuhanku itu di rumah kontrakannya. Kepada Maya selalu kukatakan ada tugas keluar kota, sehingga tak bisa pulang ke rumah dan harus menginap di tempat lain.
Maya tak banyak protes. Baginya, asal yang kukerjakan demi kesuksesan perusahaan tempatku bekerja, itu tak masalah. Kesuksesan perusahaan adalah kesuksesanku. Kesuksesanku pasti berimbas pada kesuksesan keluarga, yang membuat anak istri menjadi lebih sejahtera dari yang sudah-sudah.