Lihat ke Halaman Asli

Pemilihan Kepala Dusun

Diperbarui: 29 Juni 2019   08:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi : pixabay

Lelaki itu bernama Misnan, menjabat  ketua pemilihan kepala dusun. Rumahnya tak jauh dari kaki bukit, beberapa puluh meter dari perusahaan pertambangan minyak dan gas, yang setiap hari cerobong apinya membakar angkasa. Lebih satu bulan dia menjabat. Lebih tiga sepeda motor telah diturunkan dari mobil pick-up ke halaman rumahnya, tapi  dia suruh antar pulang kembali ke pengirimnya..

Ghalibnya dusun, berlingkup kecil. Perusahaan  pertambangan minyak dan gas itu membuatnya menjadi besar. Bagai gula dirubung semut, bagai ikan asin diperebutkan kucing. Oleh sebab itu, dari dulu, setiap akan digelar pemilihan kepala dusun, kondisinya melebihi pemilihan gubernur. Bukan kemeriahannya melebihi, tapi permainan duit panas membuat merinding. Misnan, lelaki jebolan pesantren yang kata orang  sepuluh betul. Orang lurus tanpa hono-hene, tak ke sono tak ke sene. Selalu berpegang teguh pada tali kebenaran. Kali ini, kalap juga diumpankan  hal-hal yang menerbitkan air liur.

Pak Rupat,  bandar togel, pun narkoba, bukan hanya sepeda motor yang diumpankan, perempuan cantik molek dari tanah jauh, dijabanin. Mula-mula perempuan bermake-up tebal dan bibir tipis menggoda, lewat di depan rumah Misnan. Berstatus masih bujangan, membuat dia segera menutup dan mengunci pintu, bersembunyi di dalam rumah. Ternyata perempuan itu tak hanya lewat, sekaligus masuk ke halaman, mengetok pintu sambil bernyanyi kecil. Misnan membuka pintu, menguncinya rapat-rapat, dan berdiri agak jauh dari perempuan itu.

"Kok di kunci, Mas, Om. Saya panggil apa, ya?" Perempuan itu mengedipkan mata.

"Panggil saja kakek." Misnan merengut. "Saya mengunci pintu karena tadi saya tak aman bersembunyi di dalam, jadi sekarang saya bersembunyi di luar."

"Oh, so sweet! Anda penyair atau penyanyi, ya? Saya ke mari utusan Pak Rupat, mau..." Perempuan itu tak jadi melanjutkan ucapannya, memilih lari tunggang-langgang, sebab takut dihantam bakiak yang diacungkan Misnan tinggi-tinggi.

***

Misnan sudah tahu sejak perusahaan pertambangan minyak dan gas itu beroperasi, hampir setiap bulan pihak perusahaan menggelontorkan uang ke kepala dusun sebagai tali kasih. Tapi, hanya sedikit yang dapat dicicip warga. Selebihnya, memperkaya keluarga kepala dusun. Ketika bapak lurah, menunjuk Misnan sebagai ketua pemilihan kepala dusun, tanpa dua kali ditanya mau apa tak, dia langsung mengangguk cepat. Dia berharap pemilihan kepala dusun tahun ini bermanfaat besar bagi kesejahteraan warga.

Lalu, bagaimana dia bersikap di dalam lingkungan yang bobrok? Ikan bisa hidup di laut tanpa menjadi asin.  Sayangnya, masalah tak sesepele itu. Ketakbiasaan warga bahwa uang bukan segalanya, menjadi keterbiasaan sekarang. Mau apa-apa selalu memakai uang pelicin. Tanpa uang pelicin persoalan mampet seperti got ditimbun sampah. Pernah sekali, ketika Misnan berkunjung ke kelurahan demi membuat KTP, dia bertanya kepada bapak lurah. "Mau buat KTP habis berapa, Pak?"

"Kalau kilat seratus atau dua ratus ribu. Ekspress dalam satu hari lima ratus ribu. Kalau biasa lima puluh ribu, siapnya dua bulan." Bapak lurah memilin kumisnya yang jarang seperti kumis kucing.

"Lho, saya baca di koran, cuma dua ribu lima ratus!"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline