Lihat ke Halaman Asli

Ketika Masnan Bisa Pulang

Diperbarui: 3 Juni 2019   00:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi : pixabay

Sejak Shalat Maghrib, bunda setia berdiri di bibir teras. Air mukanya keruh.

Lantunan takbir membuat kerut di wajahnya semakin menua. Dia kehilangan anak bungsu, setelah dirampok perempuan dari tanah seberang. Meski aku mengatakan bahwa itu perasaan bunda saja, dia bergeming.

Saat berbuka, dia hanya minum air putih hangat dan tiga butir kurma. Kurayu dengan rendang belut masakan istri, dia hanya mengatakan sedang tak nafsu makan. 

Orang yang seharian berpuasa tidak nafsu makan saat berbuka? Mustahil! Apalagi rendang belut lauk favorit bunda. Makannya bisa meningkat dua level. Bunda mengatakan istriku memiliki tangan penyihir. Apa saja yang dia masak, rasa lezatnya berlipat-lipat. Apakah kelezatan itu tak bisa menundukkan ego bunda sekadar makan rendang belut sesuap dua? 

Kutahu bunda sedang sakit. Bukan raganya, melainkan sakit yang bertunas di hati, lalu berbuah di wajah yang menambah kerut duka.

Masnan memang agak keterlaluan. Sudah dua lebaran dia tak mudik. Dia sangat jauh berubah setelah diterima menjadi ASN di departemen bea dan cukai. Dia semakin berubah setelah menikah dengan puteri pengusaha kaya. Berarti lebaran ini, kali ketiga dia tak mudik.

Anak kurang ajar! Apakah Masnan tak tahu surga itu berada di bawah telapak kaki ibu?Setelah sukses, dia tak pernah menyenangkan bunda, tapi lebih sering membuatnya menangis. Memang dia mampu merawat raga bunda dengan uang yang dikirimnya secara berkala, dan selalu berlebih. Namun, sedikit pun dia tak berusaha merawat hati bunda. Membahagiakannya. Apakah setiap orang yang sudah sukses itu harus berani membunuh jiwa melankolisnya? Padahal jiwa melankolis itu yang membuat seseorang itu bertambah sukses seperti yang kualami. Dan ini bukan sekadar melankolis, melainkan bukti bhakti anak kepada bunda. Bagiku mudik adalah bukti bhaktiku kepadanya. Sebab tak selamanya harta bisa menyenangkan hati.

Masnan itu anak kesayangan bunda. Lebih dari sayang yang pernah aku dapatkan. Aku dan Masnan dua bersaudara. Maka itu, pilih kasih bunda terlihat kentara. Apakah akhirnya aku cemburu? Oh, sama sekali tak. Masnan lebih muda dariku hampir sembilan tahun. Jadi, dari orok hingga dewasa, aku tahu persis perkembangannya.

Masnan terlahir prematur pada usia kandungan bunda delapan bulan. Dari umur satu hingga lima tahun, dia mengidap penyakit epilepsi. Sembuh dari penyakit itu, dia menjadi anak hiperaktif. Bunda selalu kerepotan mengurusi Masnan.  Beberapa kali bunda harus berurusan dengan wali murid, karena kepala anak mereka bocor. Atau bibir dan mata anak mereka biru. Semua itu karena ulah Masnan. Belum lagi bunda berapa kali mengganti kaca jendela rumah tetangga yang pecah. Atau pot-pot bunga hancur. Semua karena kenakalan Masnan. Wajah bunda terlihat lebih tua dari usianya. 

Untunglah ketika duduk di bangku SMA hingga kuliah, dia menjadi anak baik. Apakah selama tiga tahun berselang, dia kembali menyandang gelar anak yang menyusahkan?

"Bunda, makanlah! Nanti nasi keburu dingin." Aku siap-siap berangkat takbiran di Masjid. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline