Lihat ke Halaman Asli

Jujun, Jejen, dan Jujuk (I)

Diperbarui: 30 Mei 2019   14:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi: pixabay

Hari ini tiba masanya mudik. Orang-orang rebutan bangku. Meski masing-masing sudah ada tiket, tetap saja ada nomor bangku yang dobel. Agen sudah pening. Sopir tambah pening karena sejak dua jam lalu mesin mobil mengamuk tak jalan-jalan. Telah habis lima batang sigaret. Dia beralasan sedang musafir, jadi merasa boleh tak berpuasa. 

Ada bau keringat beradu sinyongyong. Ada bau tahi ayam. Meski dilarang bawa mahkluk hidup, tetap saja ada yang diam-diam menjejalkan di bawah jok. Mau dimarah, yang diurusi lebih banyak. Alih-alih masa berangkat tambah ditunda. Suara mesin semakin gila. 

Bangku-bangku terisi penuh. Penumpang lebih mementingkan oleh-oleh ketimbang badan sendiri. Bagasi di atas kepala sesak. Bagasi di atas atap bus sangat tinggi. Kalau ditambah barang lagi, pasti nyangkut di gapura selamat datang yang hampir ada di setiap perbatasan kota. Krupuk, getas, kemplang, berada di jok. Penumpang merelakan ujung pantat mendapat jatah jok sedikit. Badan doyong ke punggung bangku penumpang di depan. Ribut lagi. Mengoceh lagi. 

"Mau berangkat nggak?" Agen mengamuk. Sopir telah melepas baju yang becek dengan kaos putih bergambar swan. Mulutnya komat-kamit sambil memutar-mutar gelang akar bahar. Dia mengeluarkan mantra pamungkas yang pernah dia pelajari di dusun-dusun persinggahan, agar penumpang bisa tenang.

Jujun, Jejen dan Jujuk duduk di bangku tempel. Bus merangkak pelan dengan aroma masem yang pas. Doyong ke kanan-ke kiri. Roda melintasi lobang becek sekubangan kerbau. Para ibu menjerit. Takut bis tak dapat kembali ke posisi  semula. Para lelaki yang duduk di atas jok sama, menjauhkan bahu. Tak enak sesama lelaki saling bersinggungan. Sebaliknya berpasang insan yang duduk bersebalahan menahan jerit kesenangan seraya mengulum senyum. Masing-masing bahu dipanjangkan. Berharap bersinggungan, lalu menciptakan strum. Dari sapa yang melintas di mata, turun ke mulut.

Saling tegur. Saling tukar nama. Berbarter hangat. Begitulah orang bertarung membunuh rindu kampung di atas bus. Tragedi yang menyakitkan, meski tak jarang menalikan rindu, semoga bisa terulang di waktu dan lain tempat. Sungguh yang biasa bertarung di atas bus saja tahu hal ini.

Bus mengerem mendadak. Ada batu besar menghalangi jalan. Jujuk terjerembab karena duduk di bangku tempel paling depan. Sopir mendengus kesal. Bersama kenek, dia menyingkirkan batu besar itu. Bus merangkak lagi. Jujuk dipindahkan ke bangku tempel di antara Jujun dan Jejen. Irama Minang yang diputar sopir membuat suasana sedikit adem.

(Bersambung)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline