Burung besi itu terbang semakin rendah. Paruhnya menukik, mematok setiap penghalang. Sehelai demi sehelai awan disibak, seperti ibu mengerat-ngerat kue tart yang masing-masing dibagi rata kepada setiap anak panti. Kue tart yang indah, hadiah ulang tahun perak pernikahan ayah-ibu.
Kue tart yang merelakan tubuhnya dirusak pisau tajam. Seluruh anak-anak tak sabaran. Mereka ingin mendahului mendapatkan kue tart legit. Seperti halnya dia, Alit, lelaki yang menikmati pemandangan di bawah sana, saat burung besi kembali ke sarang. Setelah melewati ribuan kilometer dari negeri jauh menuju Bumi Sriwijaya.
Teringat kue tart, Alit kecillah yang paling tak sabaran memperoleh keratan pertama. Tak seperti Iqbal yang melulu mengalah, tak mau seperti anak lain. Dia selalu yakin bahwa rejeki tak akan lari ke mana, keratan kue pasti akan di tangan. Itu pula yang selalu dia katakan kepada Alit, manakala Alit mempermasalahkan sifat Iqbal yang pasrah.
Umur Iqbal masih dua belas tahun, tapi bicaranya hampir seperti kakek-kakek enam puluh tahun. Alit benci dengan sikapnya. Benci, sebab meskipun pasrah, Iqbal tetap berhasil memperoleh apa yang dia harapkan.
"Sudah mau sampai, ya?" gumam perempuan di sebelah Alit sambil mengucek mata. Seolah mencerabut Alit dari masa kekanak. Pemberitahuan pramugari agar setiap penumpang tetap duduk di kursi dan mengencangkan ikat pinggang keselamatan, membuat Alit tergeragap. Dia cepat-cepat menghidupkan ponsel, perbuatan yang melanggar keselamatan, tapi tetap dia lakukan.
"Kenapa telepon darinya belum ada, ya?" Alit seakan berbicara kepada dirinya sendiri.
"Telepon dari istrinya atau...?" Perempuan itu tersenyum menggoda. Alit membalas dengan tawa pelan. Pesawat tiba-tiba mencengkeram daratan, membuat badan Alit condong ke depan. Kembali perempuan itu tersenyum. Menggoda sekali. Alit membunuh nafsu yang mencuat.
Ini bukan saatnya bermain api. Masalah yang dia hadapi lebih berat dari sekedar perempuan, apalagi selingkuhan, bikin runyam. Jika dia ingin, banyak perempuan yang rela didekati lebih intim dengan lembaran uang, bukan dengan cinta.
Hawa Palembang lumayan gerah setelah berbilang bulan tak turun hujan. Alit menyeka leher yang berkeringat. Matanya memicing karena bersirobok dengan cahaya terik yang menjamah belalai berdinding kaca, yang akan menghantarkan seluruh penumpang ke ruang kedatangan di bawah. Semoga saja janji orang tersebut tak karet, benak Alit was-was.
Nah, itu lelaki bongsor berperut buncit di antara kerumunan penjemput. Dia ditemani lelaki-lelaki berjas dan berkacamata hitam. Mereka membentang spanduk yang menyatakan dukungan terhadap Dr. Alinafiah, MSc, calon anggota DPR pusat dari partai nganu.
Mereka mirip pemandu sorak yang meneriakkan nama Alit, Alit. Sementara orang di sekeliling tak mau tahu, atau tak ingin tahu siapa lelaki itu, meskipun spanduk-spanduknya memenuhi kota, bahkan sudah banyak yang memanjat pohon-pohon peneduh, seolah monyet kelaparan.