Terik matahari menyengat. Jalan Sudirman mendengus dengan deru kenderaan bermotor yang lalu-lalang. Angin berhembus perlahan, perih menyeka keringat. Rima, perempuan berumur delapan belasan tahun itu, tetap berdiri di halte bus. Sedari tadi dia celingak-celinguk, menunggu bus yang belum pasti kapan tiba. Memang sudah ada satu-dua lewat. Hanya muatannya sarat. Orang-orang bergelantungan serupa monyet di pintunya. Begitu bus mengerem, mereka tersorong ke depan. Begitu bus melaju, tubuh-tubuh yang saling merapat itu, condong ke belakang.
Sebenarnya kondisi demikian, biasa dihadapi Rima. Setiap pulang sekolah, dia selalu setia menunggu bus di halte, ditemani sebotol minuman ringan, sepotong roti harga seribuan dan membaca novel kesayangan yang selalu dibawanya demi membunuh kejemuan menunggu bus.
Berbeda dengan siang ini, dia merasa tak nyaman. Seorang lelaki yang seumuran dengan bapaknya, seperti memperhatikannya sejak tadi dari bangku halte. Rima berusaha menjauh, bahkan sempat berdiri di dekat gerobak yang menyempil di pinggir halte. Namun si lelaki tetap memperhatikannya.
Kalau lelaki itu bergaya bagaikan lelaki kebanyakan yang sering dijumpainya di situ, mungkin tak masalah. Ini dia sangat berbeda. Lelaki itu memakai topi koboi lebar. Mengenakan kacamata hitam. Berpakaian serba hitam, lusuh dan sedikit berbau apek. Dia juga menggenggam sebuah kitab kecil. Seperti Al Qur'an. Syakwasangka Rima jatuh bahwa dia tukang gendam. Tukang hipnotis yang sering beraksi, dan menghiasi halaman surat kabar-surat kabar ibukota belakangan ini.
Maya, teman sekelasnya pernah bercerita, bahwa sepupunya pernah dihipnotis orang. Pertama penghipnotis itu pura-pura menepuk pundak sepupunya seolah kenal. Lalu penghipnotis bercerita panjang-lebar sembari menunjukkan Al Qur'an kecil yang disebutnya Istanbul. Merembet ke persoalan lain, dia bercerita yang magis-magis. Ujung-ujungnya sepupu Maya sadar setelah ditinggalkan penghipnotis dengan kondisi kehilangan hp, uang di dompet, serta jam tangan mahal kesayangannya. Sepupu Maya tak melapor ke polisi kala itu. Katanya malu. Padahal menurut Rima pelaku hipnotis itu harus diadukan ke polisi, kemudian ditangkap agar jera.
Rima membalikkan badan. Dia berharap lelaki mencurigakan itu telah pergi. Ternyata dia masih ada. Dia masih memperhatikan Rima. Sementara halte telah sepi. Selain Rima dan lelaki mencurigakan itu, hanya ada perempuan tua yang terkantuk-kantuk di dalam gerobak jualannya. Kalau Rima dihipnotis, siapa yang bisa menolong? Keringatnya seketika mengalir deras.
Seharusnya tadi Rima menerima tawaran Andi untuk membonceng di motor gedenya. Tapi dia menolak halus. Menerima tawarannya, sama saja menunjukkan bahwa Rima telah takluk kepada Andi. Artinya, dia mulai membuka hati kepada lelaki yang mati-matian mencintainya itu.
Ah, bagaimana ini?
Mau menelepon Kak Raka agar menjemputnya, pasti sulit. Dua hari ini mereka bermusuhan, karena kemarin Rima menolak membuatkan jus jeruk dingin saat Kak Raka kehausan sepulang berolahraga. Lagian, pulsa hp Rima sudah habis. Mau ke warung telekomunikasi, jauh. Sekarang warung telekomunikasi banyak yang tutup karena kalah bersaing dengan hp.
Oh, Tuhan. Apa yang harus dilakukan Rima?
Beruntung sebuah bus jurusan ke rumah Rima datang terangguk-angguk dari ujung jalan. Dia tak mau berpikir-pikir lagi, harus masuk ke dalam bus ketika berhenti di halte. Tak perduli walaupun penumpangnya penuh sesak. Tak perduli pada bau busuk orang-orang oleh leleran keringat di panas terik begini. Yang penting, Rima bebas dari lelaki mencurigakan itu.