Angin malan nan lembut menyambut desah Sungai Musi. Lampu-lampu di seberang, semakin ramah menyapa. Denyar amis membuat hidung gatal. Kutumpukan dua belah tangan di pagar pembatas Kafe Latina dengan nganga sungai.
Tangan mungil itu melingkar pinggang . Dagu lancip itu menusuk otot bahu. Amis sungai bercampur aroma basah yang lembut. Aku merasa berada dalam lingkaran lumut yang mengenakkan.
Tapi, seketika bayang-bayang itu memerangkap kenangan. Seorang perempuan kucel masih mengenakan mukena, hilir mudik antara dapur dan ruang makan. Wajah itu akan tersenyum lega setelah melihat kehangatan tumbuh di atas meja.
Tentu dia akan pelan mengetok pintu kamar si bongsor, mengabarkan sudah tiba sahur. Aku yakin matanya kuyu ketika melihat kursi tempatku biasa duduk, kosong. Kebersamaan itu mungkin tidak lengkap tanpaku. Dia harus lebih sering mendesah. Harus rela membiarkan lelaki pujaannya bersama tuntutan kerja.
Dia mencoba menyuapkan makanan yang terasa dingin dan hambar. Lelaki pujaan itu hanya ibarat bayangan. Bertunas di hati. Tapi tak mungkin menjadi pohon kenyataan, karena tunas itu telah lunas dilahap ulat jarak yang sungguh kejam.
"Belum tidur, Mas?" Sebuah suara menarikku kembali ke kafe di pinggir sungai. Pemilik dagu runcing itu mendaratkan kecupan di ujung jambangku yang lebat. "Masih bingung memutuskan, Mas?" Dia memutar tubuh ke sampingku. Bersandar di pagar pembatas. Menyilangkan tangan di depan dada. Menatapku tajam. Seakan sebagai lelaki, aku teramat lelet menentukan sikap.
"Mas, aku rela hanya menjadi madu karena cinta. Karena cinta pula aku memutuskan dinikahi oleh lelaki yang sudah beristri."
Aku mendecak. Berjalan lambat menuju meja lima. Perlahan mengangkat seloki sampanye. Tapi, memutuskan untuk tak meminumnya.
Ingatanku kembali melayang ke masa sekian tahun lewat. Dapur selalu mengebul sedari jam tiga dini hari. Perempuan itu sekuat tenaga membunuh kantuk, hingga menjadi kerak di dapur sampai pukul tujuh pagi. Dia akan tersenyum melihatku sudah rapi akan berangkat. Membenarkan dasiku yang tak lurus. Menyiapkan makan siang dalam rantang dan memasukkan ke tas ransel. Mencium tanganku dengan hormat. Rasa hormat yang tak akan lunur, kendati aku hanya mengenggamkan uang sepuluh ribu rupiah ke tangannya ketika pulang senja. Bahkan kosong sama sekali. Tapi, di matanya selalu tumbuh harapan. Meski hanya uang receh dari laba membuat kue.
Pun ketika hidupku merangkak naik, dia tetap seperti adanya istri yang dulu. Bahkan ketika kekayaan dan kejayaan telah kurengkuh, rasa cintanya di dapur dan meja makan tak boleh dibagi dengan perempuan lain. Pembantu hanya bertugas mengurusi cuci-mencuci dan setrikaan. Tak lebih dari itu.
Lalu, apakah sekarang dia rela membagi kamar tidur dengan perempuan lain?