Lihat ke Halaman Asli

Ayahku Tukang Sampah

Diperbarui: 7 Mei 2019   10:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi : pixabay

Aldi tak biasanya murung saat pulang sekolah. Setelah membuka sepatu, dia duduk merenung di kamar. Terbayang di matanya kejadian besok pagi. Teman-temannya pasti mencemooh ketika dia bercerita di depan kelas.

Tadi pagi saat pelajaran bahasa Indonesia, Pak Tigor berkata, "Besok semua murid harus sudah siap bercerita di depan kelas tentang ayah masing-masing. Tentang pekerjaannya. Tentang apa saja."

Bagaimana mungkin Aldi menceritakan tentang pekerjaan ayahnya? Ayah Aldi sehari-harinya bekerja bersama sampah. Dari pagi hingga pukul empat sore. Ketika pergi masih wangi sabun mandi, pulang-pulang bau busuk.

Aldi memang tak malu menjadi anak seorang tukang sampah. Karena dari sampah-sampahlah ayahnya menghidupi mereka. Dari sampah-sampahlah Aldi bisa bersekolah. Tapi kalau harus menceritakannya di depan kelas, kemudian dicemooh. Oh...

"Lho, bukannya makan siang, malahan melamun!" Kak Sita tiba-tiba muncul di dekat Aldi. "Apa Aldi tak lapar?"

Wajah Aldi merah seperti udang rebus. Dia malu tertangkap basah sedang melamun.

"Nggak kok, Kak. Aldi hanya mengkhayal."

"Melamun dan mengkhayal itu sama saja. Apa kedua persamaan kata itu tak Aldi pelajari di sekolah?" 

Aldi membisu. Dia ingin menceritakan masalah yang sedang dihadapinya. Tapi, apakah Kak Sita tak marah? Bagaimana kalau Kak Sita mengadu kepada Ayah? Ayah tentu akan sedih.

"Boleh nggak besok Aldi bolos sekolah?" Tanpa sadar Aldi mengucapkan kata-kata yang paling dibenci Kak Sita. Lihat saja, mata Kak Sita langsung melotot. "Soalnya Aldi malu!" 

Mata Kak Sita kembali teduh. "Malu kenapa, Aldi?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline