Jangan sekali-sekali menatap mata seorang janda kalau kau tak ingin dibetot dan tenggelam di dalamnya! Begitulah teman-teman berkelakar ketika pertama kali kami menyewa kamar-kamar di gedung berlantai tiga ini. Teman-teman sengaja menempati lantai paling atas, saling berdempetan dan di posisi paling ujung. Aang bernomor tigapuluh, Wildan bernomor duapuluh sembilan. Wilson bernomor duapuluh delapan. Alasan mereka, pertama, agar setiap hari bisa melihat siapa saja penghuni dari kamar di lantai satu sampai lantai tiga. Saat ada penghuni baru yang cantik dan seksi, maka merekalah yang pertama mendapat informasi dan mendekatinya. Kedua, agar kalau sedang mengajak kencan sang pacar, mereka bebas tanpa diganggu oleh orang-orang usil yang lewat. Bagaimana pula orang sampai bisa lewat di depan kamar mereka. Kamar-kamar itulah paling ujung dan terbentur di pagar tembok setinggi tiga meter.
Sementara saya memilih posisi di kamar lantai satu, dengan alasan yang tepat. Pertama, saya paling tak bisa dipersulit masalah air. Dan biasanya di lantai satu, air lebih mudah didapat. Lantai tiga paling tidak empot-empotan dulu. Iya, kalau pompa airnya bagus, air bisa langsung mengocor yang dialirkan melalui selang panjang. Tapi kalau tidak, siap-siaplah berolahraga mengangkut berember air dari lantai satu ke lantai tiga. Kedua, dan yang paling utama, saya sudah memastikan untuk tak lagi bermain-main dengan yang namanya perempuan. Saat berangkat atau pulang kuliah, mata saya tak perlu jelalatan melihat berbagai tipe perempuan penggoda. Karena dari kamar saya ke jalan raya hanya berjarak empat meter, dan tak ada lagi kesempatan bagi saya mengamati siapa yang paling cantik dan seksi di lantai satu, dua, juga tiga.
Jujur saja, saya sudah memiliki kekasih bernama Rina. Anak fakultas kedokteran yang berkulit putih mulus. Apa lagi kekurangannya sehingga saya harus bermain api, mencari perempuan yang belum tentu lebih baik darinya?
"Ah, kau itu sok alim!" Dengus Wildan tadi pagi ketika saya memberi alasan mengapa memilih kamar di lantai satu dan tak kompak dengan mereka---sama-sama di lantai tiga.
"Tujuan saya di kota ini adalah kuliah, belajar dan sukses menjadi sarjana. Lagipula untuk apa mencari perempuan lain, sementara yang saya punya lebih dari cukup!"
Wildan terdiam. Dia akhirnya mengancam tak akan membantu bila terjadi apa-apa kepada saya. Tapi saya yakin bahwa dia dan dua temannyalah kelak yang paling sering meminta bantuan saya. Misalnya meminta bantuan mengangkat berember air dari lantai satu ke lantai tiga, saat pompa air rusak.
Ya, ya, tapi sudahlah! Buat apa dipusingkan. Saya menjalani kehidupan saya di kamar lantai satu dengan sangat lega. Belajar tenang, makan kenyang dan tidur lelap. Kalau kamar saya berdampingan dengan mereka, hasil yang didapat sebaliknya. Akibatnya nilai jeblok, sakit maag dan insomnia.
Saya tak perduli bila setiap Sabtu malam mereka kumpul-kumpul di kamar Wildan, atau kamar Wilson, atau kamar Aang. Mereka membawa pasangan masing-masing yang selalu edisi terbaru dari hari-hari sebelumnya. Kata Wildan, tekhnologi boleh up to date, kekasih juga demikian. Itulah ketika mereka mengajak gabung, saya lekas menolak. Kecuali ketika mereka meminta dibelikan rokok, atau panganan, atau minuman, saya mau juga sebagai wujud solidaritas teman. Tapi sekali lagi, selesai tugas, saya kembali ke kamar. Perduli amat dengan pandangan gombal pacar-pacar mereka. Sebab jujur, di antara teman-teman saya itu, sayalah yang paling ganteng. Hehehe. Itu kata ibu saya, bukan kata saya.
Tapi hari ini saya dikejutkan oleh kehebohan mereka, juga beberapa lelaki hidung belang di gedung berlantai tiga ini. Kabar yang beredar, ada janda beranak satu yang menempati kamar di lantai satu bernomor pintu dua. Dia dari Jogja. Saya mendengar bisik-bisik lelaki, janda itu sangat cantik dan lumayan seksi. Uh, orang-orang edan! Saya tak ingin terlibat edan. Saya kuatkan iman dan tetap mengingat Reni seorang. Tak perduli bila kenyataannya si janda tinggal di kamar yang berdempetan dengan kamar saya. Kamar saya bernomor pintu satu. Tapi jangan tanya keperdulian Aang, Wildan dan Wilson. Masing-masing mencoba merebut hati saya. Masing-masing menjanjikan imbalan yang menggiurkan. Bahkan Wilson berjanji melunasi uang sewa kamar saya selama sebulan, asal keinginannya saya turuti. Artinya, kamar saya diperebutkan!
"Kenapa dari kemarin-kemarin kalian memperebutkan lantai tiga? Kalian malahan melecehkan saya yang memilih kamar ini. Sekarang menyesal, kan?"
"Tapi bagaimana tawaranku?" kejar Wilson.