Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Koridor Rumah Sakit

Diperbarui: 26 April 2019   16:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi : pixabay

Koridor rumah sakit sudah sepi. Lampu temaram di sepanjang lorong yang memanjang dari ruang induk menuju sal-sal, kelihatan begitu menyeramkan. Kadang kau dapat merasakan angin semilir berhembus menyebarkan bau bunga kenanga. Atau kau dapat merasakan ada sesuatu yang melintas. Seperti kilat. Sangat cepat, sehingga bola mata tak menangkap jelas apakah yang melintas itu.

Padahal tak ada apa-apa di situ. Selain, mungkin angin semilir yang membawa harum kenanga. Di situ udara bebas berkesiur. Di taman dekat parkiran motor, memang ada rumpun-rumpun bunga kenanga. Jadi wajar saja baunya menyergap selintas-dua, membuat cuping hidungmu bergerak simultan. Sementara sesuatu yang melintas itu, paling tidak hanya halusinasi. 

Ketakutan yang menyeruak, pada saat suasana rumah sakit sepi. Dan itu selalu menjadi bahan pembicaraan orang-orang, baik pasien maupun pembesuk atau penunggu pasien. Kalau sudah malam benar-benar larut, tak ada lagi yang berani keluar masuk kamar pasien. Apalagi sang penunggu pasien. Bila benar-benar butuh sesuatu, paling tidak dia menghubungi perawat melalui intercom.  Ya, ya! Hanya perawat-perawat itulah yang tak menyimpan ketakutan pada lorong-lorong rumah sakit yang sepi. 

Hanya perawat-perawat itulah yang berani keluar-masuk kamar mayat tanpa rasa cemas. Itu artinya, kalau kau mau menjadi perawat, salah satu hal utama yang harus kau miliki adalah keberanian. Kalau takut hantu, maka jangan sekali-sekali bercita-cita menjadi perawat! Bisa-bisa pasienmu mati, karena sekarat, sementara kau ketakutan untuk menjenguknya. Ya, kau takut melewati lorong-lorong sepi itu dengan suasana malam yang horor.

Begitu pula yang kualami. Aku sebenarnya tak bercita-cita menjadi perawat. Berhubung ibu memaksa---untuk melanjutkan jiwa keperawatan di dalam silsilah keluargaku yang mendarah daging---aku terpaksa mengiyakan. Aku tak ingin menjadi tumbal kekesalannya. Sebab nanti, aku akan butuh pekerjaan untuk mengeluti hidup yang tak ramah! Bila aku mengambil jurusan lain, misalnya berniat menjadi pengacara, tentu sulit juga meraihnya. 

Memang menamatkan sekolah pengacara itu, atau katakanlah jurusan hukum, taklah terlalu sulit. Asal rajin menghapal, dan mengasah kejelian otak, maka bisa cepat kelar. Tapi untuk memperoleh pekerjaan setamat jurusan hukum, tentulah sulit. Butuh tenaga ekstra demi berjibaku memasukkan tubuh di lahan kerja yang sempit. Sementara kalau menjadi perawat, tentulah mudah. Ibuku seorang kepala bidan di rumah sakit pemerintah. Dia memiliki channel banyak. Jadi, setamat sekolah, mudah-mudahan dia merekomendasikanku untuk ditempatkan di rumah sakit-rumah sakit bonafide.

"Hei, melamun!" Luri, rekan kerjaku, mengejutkanku dengan sentuhan tangannya yang dingin. Aku tersentak. Hari pertama bekerja di rumah sakit, membuat nyaliku ciut. Rasa was-was menyergap. Sebab, aku mendengar selentingan dari beberapa orang bahwa tempatku bekerja sekarang, sangat menyeramkan. Memang di siang hari tak ada yang perlu ditakutkan. Tapi di malam hari yang sepi, selalu saja ada hal-hal aneh terjadi. Makanya banyak orang tak ingin menjaga pasien di rumah sakit ini, meskipun si pasien itu ibunya sendiri. Kalaupun ada yang berani, pastilah dia hanya mendekam di kamar seperti kukang yang pemalu.

"Kau menakutkanku!" seruku.

"Memangnya aku hantu?" Dia membuatku semakin ciut. Apalagi kemudian dia menyuruhku memberikan suntikan kepada pasien di sal H. Hmm, jarak yang lumayan jauh. Sepi, dan dilalui koridor yang di kiri-kanannya hanya ada lapangan rumput, dan kembang-kembang berpot besar.

"Aku...."

"Kenapa? Takut? Masa' perawat takut. Kalau mau menjadi perawat ha..."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline