Lihat ke Halaman Asli

Tembang Pematang Siojo

Diperbarui: 18 April 2019   13:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi: pixabay

Bola-bola salju turun lagi. Selalu begini setiap kali bunga rumput menerbangkan benihnya bersama angin yang ramah. Anak-anak di sepanjang pematang Siojo, bergairah melihat langit dipenuhi salju. Anak-anak berusaha meniupnya sehingga tak turun ke tanah.

Kau tahu, aku adalah salah seorang pengagum salju itu? Terkadang dia nakal dan hinggap di rambutku. Kuelus tubuhnya yang sehalus kapas. Kutiup hingga dia terbang ke angkasa. Ah, suatu kali aku ingin terbang bersamanya. Terbang ke angkasa menyusuri setiap lembah. 

 "Kau lihat bunga-bunga rumput itu? Kau seperti mereka. Lembut dan menggoda." 

Senja belum jatuh. Itu untuk pertama kalinya kau berani memujiku setelah hampir lima belas tahun kita selalu satu sekolah dan di kelas yang sama. Rambut pirangmu riap-riapan dipermainkan angin. Aku melihat kornea matamu. Hmm, sangat indah dan membuatku jengah. Untuk pertama kalinya pula kau terlihat tampan. Untuk pertama kalinya aku merasa kikuk berada di sebelahmu. Aku tahu kau sedikit kecewa ketika aku berlari menjauhimu menuruni pematang Siojo. Bukan karena aku tak suka pujian. Bukan! Aku suka. Sangat suka. Tapi siapa yang bisa menahan kikuk, apalagi aku tiba-tiba menyukaimu dengan rasa lain dari biasanya.

* * *

Kelas baru. Wangi juga baru. Dua hari lalu kelas ini dicat. Aku dan Imah tak hanya merasakan kelas baru, tapi sekolah baru, juga status baru. Anak SMA. Hmm, siapa yang mengira waktunya telah tiba. Seragam putih abu-abu.

"Ikram tak melanjutkan sekolah, ya?" Imah lebih dulu memilih bangku di sudut kanan paling depan. Aku mengambil posisi di sebelahnya

 "Ya!" jawabku singkat. Ada galau melingkupi dada saat mendengar nama Ikram. Sekarang aku memang benar-benar sekelas dengan Imah. Namun sebaliknya aku kehilangan cowok yang diam-diam mulai kucintai. Kami tak lagi berada dalam kelas yang sama. Bahkan bukan pula dalam sekolah yang sama. Bukan dalam status sama; sebagai anak didik alias siswa. Ikram putus sekolah!

"Kenapa dia tak melanjutkan sekolah? Sayang, kan! Padahal dia itu cerdas." Imah, meskipun selalu menyembunyikan perasaannya, namun aku tahu dia mencintai Ikram. Barangkali melihat Ikram lebih sering berdekatan denganku, Imah diam-diam memendam perasaan itu. "Tak berusaha kau tanyakan kepadanya?"

Aku mendesah. Aku menatap langit-langit kelas dengan dua ceiling fan yang berputar pelan.

Aku telah bertemu Ikram sepekan lalu. Dia terlihat lesu ketika duduk sendirian di pematang Siojo. Bunga-bunga rumput sedang sepi. Langit terang. Terlalu terang untuk waktu menjelang senja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline